Minggu, 10 Juni 2012

Hukum Merayakan Valentine

“Merayakan hari Valentine itu tidak boleh (HARAM), karena:
Pertama: ia merupakan hari raya bid‘ah yang tidak ada dasar hukumnya di dalam syari‘at Islam.
Kedua: ia dapat menyebabkan hati sibuk dengan perkara-perkara rendahan seperti ini yang sangat bertentangan dengan petunjuk para salaf shalih (pendahulu kita) – semoga Allah meridhai mereka. Maka tidak halal melakukan ritual hari raya, baik dalam bentuk makan-makan, minum-minum, berpakaian, saling tukar hadiah ataupun lainnya. Hendaknya setiap muslim merasa bangga dengan agamanya, tidak menjadi orang yang tidak mempunyai pegangan dan ikut-ikutan. Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari segala fitnah (ujian hidup), yang tampak ataupun yang tersembunyi dan semoga meliputi kita semua dengan bimbingan-Nya.”
Maka adalah wajib bagi setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat untuk melaksanakan wala’ dan bara’ ( loyalitas kepada muslimin dan berlepas diri dari golongan kafir) yang merupakan dasar akidah yang dipegang oleh para salaf shalih. Yaitu mencintai orang-orang mu’min dan membenci dan menyelisihi (membedakan diri dengan) orang-orang kafir dalam ibadah dan perilaku.
Di antara dampak buruk menyerupai mereka adalah: ikut mempopulerkan ritual-ritual mereka sehingga terhapuslah nilai-nilai Islam. Dampak buruk lainnya, bahwa dengan mengikuti mereka berarti memperbanyak jumlah mereka, mendukung dan mengikuti agama mereka, padahal seorang muslim dalam setiap raka’at shalatnya membaca,
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Al-Fatihah:6-7)
Bagaimana bisa ia memohon kepada Allah agar ditunjukkan kepadanya jalan orang-orang yang mukmin dan dijauhkan darinya jalan golongan mereka yang sesat dan dimurkai, namun ia sendiri malah menempuh jalan sesat itu dengan sukarela. Lain dari itu, mengekornya kaum muslimin terhadap gaya hidup mereka akan membuat mereka senang serta dapat melahirkan kecintaan dan keterikatan hati.
Allah Subhannahu wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah:51)
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Mujadilah: 22)
Ada seorang gadis mengatakan, bahwa ia tidak mengikuti keyakinan mereka, hanya saja hari Valentine tersebut secara khusus memberikan makna cinta dan suka citanya kepada orang-orang yang memperingatinya.
Saudaraku! Ini adalah suatu kelalaian, padahal sekali lagi: Perayaan ini adalah acara ritual agama lain! Hadiah yang diberikan sebagai ungkapan cinta adalah sesuatu yang baik, namun bila dikaitkan dengan pesta-pesta ritual agama lain dan tradisi-tradisi Barat, akan mengakibatkan seseorang terobsesi oleh budaya dan gaya hidup mereka.
Mengadakan pesta pada hari tersebut bukanlah sesuatu yang sepele, tapi lebih mencerminkan pengadopsian nilai-nilai Barat yang tidak memandang batasan normatif dalam pergaulan antara pria dan wanita sehingga saat ini kita lihat struktur sosial mereka menjadi porak-poranda.
Alhamdulillah, kita mempunyai pengganti yang jauh lebih baik dari itu semua, sehingga kita tidak perlu meniru dan menyerupai mereka. Di antaranya, bahwa dalam pandangan kita, seorang ibu mempunyai kedudukan yang agung, kita bisa mempersembahkan ketulusan dan cinta itu kepadanya dari waktu ke waktu, demikian pula untuk ayah, saudara, suami …dst, tapi hal itu tidak kita lakukan khusus pada saat yang dirayakan oleh orang-orang kafir.
Semoga Allah Subhannahu wa Ta’ala senantiasa menjadikan hidup kita penuh dengan kecintaan dan kasih sayang yang tulus, yang menjadi jembatan untuk masuk ke dalam Surga yang hamparannya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.
Menyampaikan Kebenaran adalah kewajiban setiap Muslim. Kesempatan kita saat ini untuk berdakwah adalah dengan menyampaikan buletin ini kepada saudara-saudara kita yang belum mengetahuinya.

Perbedaan Darah Haid dan Istihadhah

Definisi Istihadhah
Secara bahasa, dikatakan: “Wanita itu terkena istihadhah,” kalau darahnya terus keluar padahal adat haidnya telah berakhir. [Mukhtar Ash-Shihah hal. 90]. Adapun secara istilah, maka ada beberapa definisi di kalangan ulama. Akan tetapi mungkin bisa disimpulkan sebagai berikut: Istihadhah adalah darah yang berasal dari urat yang pecah/putus, yang keluarnya bukan pada masa adat haid dan nifas -dan ini kebanyakannya-, tapi terkadang juga keluar pada masa adat haid dan saat nifas. Karena dia adalah darah berupa penyakit, maka dia tidak akan berhenti mengalir sampai wanita itu sembuh darinya.
Karena itulah, darah istihadhah ini kadang tidak pernah berhenti keluar sama sekali dan kadang berhentinya hanya sehari atau dua hari dalam sebulan.
Sifat-sifat darah haid
Sifat-sifat darah haid adalah warnanya hitam, baunya busuk, dan waktu keluarnya terasa sakit. Sedangkan sifat-sifat darah istihadhah yaitu warnanya merah, baunya seperti darah biasa, berasal dari urat yang pecah/putus dan ketika keluar langsung mengental. Masa keluar darah haid paling sedikit sehari semalam, biasanya 6 sampai 7 hari, dan paling lama 15 hari. Kalau keluarnya darah kurang dari sehari semalam (masa minimal haid) atau melebihi 15 hari (masa maksimal haid), maka darah yang keluar itu adalah darah istihadhah, karena adanya penyakit.
Hukum Wanita Yang Terkena Istihadhah.
Hukumnya sama seperti wanita yang suci (tidak haid dan nifas) pada semua hal-hal yang diwajibkan dan yang disunnahkan berupa ibadah. Ibnu Jarir dan selainnya menukil ijma’ ulama akan bolehnya wanita yang terkena istihadhah untuk membaca Al-Qur`an dan wajib atasnya untuk mengerjakan semua kewajiban yang dibebankan kepada wanita yang suci. Lihat nukilan ijma’ lainnya dalam Al-Majmu’ (2/542), Ma’alim As-Sunan (1/217) dan selainnya.
Dari penjelasan di atas, kita juga bisa menarik kesimpulan bahwa darah istihadhah bukanlah najis, karena akan diterangkan bahwa wanita yang terkena istihadhah tetap wajib mengerjakan shalat walaupun saat darahnya tengah mengalir keluar.
Waktu Keluarnya Istihadhah.
a.    Kalau keluarnya istihadhah bukan pada waktu haid atau nifas, dalam artian waktu keduanya tidak bertemu. Misalnya darah istihadhah keluar bukan saat masa adat haidnya, atau darah istihadhah keluar setelah berlalunya masa nifas. Maka di sini tidak ada masalah, masa adat haid dihukumi haid dan setelahnya dihukumi istihadhah, demikian pula halnya dengan nifas.
b.    Tapi kalau keluarnya istihadhah bertemu dengan masa adat haid atau masa nifas, maka di sini hukumnya harus dirinci. Wanita yang terkena haid (atau pada masa adat haidnya) sekaligus terkena istihadhah, tidak lepas dari empat keadaan:
  1. Dia sudah mempunyai masa adat haid sebelum terjadinya istihadhah. Maka yang seperti ini dia tinggal menjadikan masa adatnya sebagai patokan. Kalau adatnya tiba maka dia dihukumi terkena haid, dan kalau adatnya sudah berlalu maka darah yang keluar setelahnya -apapun ciri-cirinya- dihukumi istihadhah.
    Misalnya: Seorang wanita biasanya haid selama enam hari pada setiap awal bulan, tiba-tiba mengalami istihadhah dan darahnya keluar terus-menerus tanpa bisa dibedakan mana yang haid dan mana yang istihadhah (misalnya karena hari pertama keluar dengan ciri-ciri haid sedang hari yang kedua dengan ciri-ciri istihadhah dan seterusnya). Maka masa haidnya dihitung enam hari pada setiap awal bulan, sedang selainnya merupakan istihadhah, sehingga dia wajib untuk mandi lalu shalat walaupun darahnya keluar terus.
    Ini berdasarkan sabda Nabi -shallallahu alaihi wasallam- kepada Ummu Habibah binti Jahsy tatkala dia terkena istihadhah, “Diamlah (tinggalkan shalat) selama masa haid yang biasa menghalangimu, lalu mandilah dan lakukan shalat.” (HR. Muslim)
  2. Tidak mempunyai adat sebelumnya -baik karena itu awal kali dia haid (al-mubtada`ah) ataukah dia lupa adat haidnya karena sudah lama dia tidak haid-, tapi dia mempunyai tamyiz, yaitu darah yang keluar bisa dibedakan mana haid dan mana istihadhah, berdasarkan ciri-ciri haid dan nifas yang telah disebutkan.
    Misalnya: Seorang wanita pada saat pertama kali mendapati darah dan darah itu keluar terus-menerus. Akan dia dapati selama 10 hari dalam sebulan darahnya berwarna hitam, berbau busuk, dan tebal (kental) kemudian setelah 10 hari itu darah yang keluar berwarna merah, tidak berbau dan encer (tipis). Maka masa haidnya adalah 10 hari tersebut, sementara sisanya dihukumi darah istihadhah
  3. Dia mempunyai adat dan tamyiz sekaligus. Maka di sini ada dua keadaan:
    • Adat dan tamyiznya tidak bertentangan.
      Misalnya: Dia mempunyai adat haid tanggal 1-6 tiap bulan. Ternyata darah yang keluar pada masa adatnya mempunyai ciri-ciri haid, sedang sisanya mempunyai ciri-ciri darah istihadhah. Maka ini tidak ada masalah.
    • Adat dan tamyiznya bertentangan.
      Misalnya: Dia mempunyai adat haid 6 hari di awal bulan, akan tetapi darah yang keluar saat itu kadang dengan ciri haid dan kadang dengan ciri istihadhah. Manakah yang dijadikan patokan? Apakah adat ataukah tamyiznya? Yang kuat dalam masalah ini adalah bahwa adatnya lebih didahulukan. Sehingga yang menjadi masa haidnya adalah yang 6 hari, apapun warna darah yang keluar, sedangkan sebelum dan setelah ke 6 hari ini bukanlah haid, walaupun cirinya darah haid. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Al-Auzai, satu pendapat dari Asy-Syafi’i, dan juga pendapat Imam Ahmad, dan yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah, Syaikh Ibnu Al-Utsaimin dan Syaikh Muqbil -rahimahumullah-.
  4. Tidak mempunyai adat -baik karena baru pertama kali haid (al-mubtada`ah) maupun karena lupa adat haidnya- dan tidak pula tamyiz.
    Contoh: Ada seorang wanita yang pertama kali haid dan juga terkena istihadhah dengan ciri-ciri darah yang tidak beraturan. Pada hari ini berwarna hitam (ciri-ciri haid), besoknya berwarna merah dan demikian seterusnya, dan ini terjadi sebulan penuh atau kurang dari itu. Apa yang harus dilakukan wanita ini? Jawab: Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata, “Dalam kondisi ini, hendaklah ia mengambil kebiasaan kaum wanita pada umumnya. Maka masa haidnya adalah enam atau tujuh hari pada setiap bulan dihitung mulai dari saat pertama kali mendapati darah. Sedang selebihnya merupakan darah istihadah.
    Misalnya: Seorang wanita pada saat pertama kali melihat darah pada tanggal 5 dan darah itu keluar terus menerus tanpa dapat dibedakan secara tepat mana yang darah haid, baik melalui warna ataupun dengan cara lain. Maka haidnya pada setiap bulan dihitung selama enam atau tujuh hari mulai dari tanggal lima tersebut.” Kami katakan: Sebagian ulama berpendapat lebih utama kalau dia melihat adat kerabat wanita terdekatnya, misalnya ibunya atau saudarinya lalu dia berpatokan kepada adat mereka

Rahasia 17an Agustus 1945

Tujuh belas Agustus merupakan hari besar kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada tanggal tersebut, 64 tahun yang lalu merupakan hari paling bersejarah negeri ini karena di hari itulah merupakan awal dari kebangkitan rakyat Indonesia dalam melawan penjajahan sekaligus penanda awalnya revolusi. Namun, ada beberapa hal menarik seputar hari kemerdekaan negeri kita tercinta ini yang sayang jika belum Anda ketahui.

1. Soekarno Sakit Saat Proklamirkan Kemerdekaan
Pada 17 Agustus 1945 pukul 08.00 (2 jam sblm pembacaan teks Proklamasi), ternyata Bung Karno masih tidur nyenyak di kamarnya, di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini. Dia terkena gejala malaria tertiana. Suhu badannya tinggi dan sangat lelah setelah begadang bersama para sahabatnya menyusun konsep naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda. Saat itu, tepat di tengah-tengah bulan puasa Ramadhan.

"Pating greges", keluh Bung Karno setelah dibangunkan Dr. Soeharto, dokter kesayangannya. Kemudian darahnya dialiri chinineurethan intramusculair dan menenggak pil brom chinine. Lalu ia tidur lagi. Pukul 09.00, Bung Karno terbangun. Berpakaian rapi putih-putih dan menemui sahabatnya, Bung Hatta.

Tepat pukul 10.00, keduanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari serambi rumah. "Demikianlah Saudara-saudara! Kita sekalian telah merdeka!", ujar Bung Karno di hadapan segelintir patriot-patriot sejati. Mereka lalu menyanyikan lagu kebangsaan sambil mengibarkan bendera pusaka Merah Putih. Setelah upacara yang singkat itu, Bung Karno kembali ke kamar tidurnya; masih meriang. Tapi sebuah revolusi telah dimulai.

2. Upacara Proklamasi Kemerdekaan Dibuat Sangat Sederhana
Upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ternyata berlangsung tanpa protokol, tak ada korps musik, tak ada konduktor, dan tak ada pancaragam. Tiang bendera pun dibuat dari batang bambu secara kasar, serta ditanam hanya beberapa menit menjelang upacara. Tetapi itulah, kenyataan yang yang terjadi pada sebuah upacara sakral yang dinanti-nanti selama lebih dari 300 tahun!

3. Bendera dari Seprai
Bendera Pusaka Sang Merah Putih adalah bendera resmi pertama bagi RI. Tetapi dari apakah bendera sakral itu dibuat? Warna putihnya dari kain sprei tempat tidur dan warna merahnya dari kain tukang soto!

4. Akbar Tanjung Jadi Menteri Pertama “Orang Indonesia Asli”
Setelah merdeka 43 tahun, Indonesia baru memiliki seorang menteri pertama yang benar-benar "orang Indonesia asli". Karena semua menteri sebelumnya lahir sebelum 17 Agustus 1945. Itu berarti, mereka pernah menjadi warga Hindia Belanda dan atau pendudukan Jepang, sebab negara hukum Republik Indonesia memang belum ada saat itu. "Orang Indonesia asli" pertama yang menjadi menteri adalah Ir Akbar Tanjung (lahir di Sibolga, Sumatera Utara, 30 Agustus 1945), sebagai Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga pada Kabinet Pembangunan (1988-1993).

5. Kalimantan Dipimpin 3 Kepala Negara
Menurut Proklamasi 17 Agustus 1945, Kalimantan adalah bagian integral wilayah hukum Indonesia. Kenyataannya, pulau tersebut paling unik di dunia. Di pulau tersebut, ada 3 kepala negara yang memerintah! Presiden Soeharto (memerintah 4 wilayah provinsi), PM Mahathir Mohamad (Sabah dan Serawak) serta Sultan Hassanal Bolkiah (Brunei).

6. Setting Revolusi di Indonesia Diangkat Ke Film
Ada lagi hubungan erat antara 17 Agustus dan Hollywood. Judul pidato 17 Agustus 1964, "Tahun Vivere Perilocoso" (Tahun yang Penuh Bahaya), telah dijadikan judul sebuah film - dalam bahasa Inggris; "The Year of Living Dangerously". Film tersebut menceritakan pegalaman seorang wartawan Australia yg ditugaskan di Indonesia pada 1960-an, pada detik2 menjelang peristiwa berdarah th 1965. Pada 1984, film yang dibintangi Mel Gibson itu mendapat Oscar untuk kategori film asing!

7. Naskah Asli Proklamasi Ditemukan di Tempat Sampah
Naskah asli teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditulis tangan oleh Bung Karno dan didikte oleh Bung Hatta, ternyata tidak pernah dimiliki dan disimpan oleh Pemerintah! Anehnya, naskah historis tersebut justru disimpan dengan baik oleh wartawan BM Diah. Diah menemukan draft proklamasi itu di keranjang sampah di rumah Laksamana Maeda, 17 Agustus 1945 dini hari, setelah disalin dan diketik oleh Sajuti Melik.Pada 29 Mei 1992, Diah menyerahkan draft tersebut kepada Presiden Soeharto, setelah menyimpannya selama 46 tahun 9 bulan 19 hari.

8. Soekarno Memandikan Penumpang Pesawat dengan Air Seni
Rasa-rasanya di dunia ini, hanya the founding fathers Indonesia yang pernah mandi air seni. Saat pulang dari Dalat (Cipanasnya Saigon), Vietnam, 13 Agustus 1945, Soekarno bersama Bung Hatta, dr Radjiman Wedyodiningrat dan dr Soeharto (dokter pribadi Bung Karno) menumpang pesawat fighter bomber bermotor ganda. Dalam perjalanan, Soekarno ingin sekali buang air kecil, tetapi tak ada tempat. Setelah dipikir, dicari jalan keluarnya untuk hasrat yang tak tertahan itu. Melihat lubang-lubang kecil di dinding pesawat, di situlah Bung Karno melepaskan hajat kecilnya. Karena angin begitu kencang sekali, bersemburlah air seni itu dan membasahi semua penumpang.

9. Negatif Film Foto Kemerdekaan Disimpan Di Bawah Pohon
Berkat kebohongan, peristiwa sakral Proklamasi 17 Agustus 1945 dapat didokumentasikan dan disaksikan oleh kita hingga kini. Saat tentara Jepang ingin merampas negatif foto yang mengabadikan peristiwa penting tersebut, Frans Mendoer, fotografer yang merekam detik-detik proklamasi, berbohong kepada mereka. Dia bilang tak punya negatif itu dan sudah diserahkan kepada Barisan Pelopor, sebuah gerakan perjuangan. Mendengar jawaban itu, Jepang pun marah besar. Padahal negatif film itu ditanam di bawah sebuah pohon di halaman Kantor harian Asia Raja. Setelah Jepang pergi, negatif itu diafdruk dan dipublikasi secara luas hingga bisa dinikmati sampai sekarang. Bagaimana kalau Mendoer bersikap jujur pada Jepang?

10. Bung Hatta Berbohong Demi Proklamasi
Kali ini, Bung Hatta yang berbohong demi proklamasi. Waktu masa revolusi, Bung Karno memerintahkan Bung Hatta untuk meminta bantuan senjata kepada Jawaharlal Nehru. Cara untuk pergi ke India pun dilakukan secara rahasia. Bung Hatta memakai paspor dengan nama "Abdullah, co-pilot". Lalu beliau berangkat dengan pesawat yang dikemudikan Biju Patnaik, seorang industrialis yang kemudian menjadi menteri pada kabinet PM Morarji Desai. Bung Hatta diperlakukan sangat hormat oleh Nehru dan diajak bertemu Mahatma Gandhi.

Nehru adalah kawan lama Hatta sejak 1920-an dan Dandhi mengetahui perjuangan Hatta. Setelah pertemuan, Gandhi diberi tahu oleh Nehru bahwa "Abdullah" itu adalah Mohammad hatta. Apa reaksi Gandhi? Dia marah besar kepada Nehru, karena tidak diberi tahu yang sebenarnya."You are a liar !" ujar tokoh kharismatik itu kepada Nehru.

11. Bendera Merah Putih dan Perayaan Tujuh Belasan Bukan di Indonesia Saja
Bendera Merah Putih dan perayaan tujuh belasan bukanlah monopoli Indonesia. Corak benderanya sama dengan corak bendera Kerajaan Monaco dan hari kemerdekaannya sama dengan hari proklamasi Republik Gabon (sebuah negara di Afrika Barat) yang merdeka 17 Agustus 1960. Selain itu, masih menjadi perdebatan apakah lagu Indonesia Raya benar-benar merp karya asli WR Supratman, ataukah 'terinspirasi' oleh lagu Perancis, "Les Marseilles", yg memiliki nada2 yg sangat mirip.

12. Tidak Ada Nama Jalan Soekarnp-Hatta
Jakarta, tempat diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia dan kota tempat Bung Karno dan Bung Hatta berjuang, tidak memberi imbalan yang cukup untuk mengenang co-proklamator Indonesia. Sampai detik ini, tidak ada "Jalan Soekarno-Hatta" di ibu kota Jakarta. Bahkan, nama mereka tidak pernah diabadikan untuk sebuah objek bangunan fasilitas umum apa pun sampai 1985, ketika sebuah bandara diresmikan dengan memakai nama mereka.

13. Gelar Proklamator Hanyalah Gelar Lisan
Gelar Proklamator untuk Bung Karno dan Bung Hatta, hanyalah gelar lisan yang diberikan rakyat Indonesia kepadanya selama 41 tahun! Sebab, baru 1986 Permerintah memberikan gelar proklamator secara resmi kepada mereka.

14. Indonesia Mungkin Saja Punya Lebih Dari Dua Proklamator
Kalau saja usul Bung Hatta diterima, tentu Indonesia punya "lebih dari dua" proklamator. Saat setelah konsep naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia rampung disusun di rumah Laksamana Maeda, Jl Imam Bonjol no 1, Jakarta, Bung Hatta mengusulkan semua yang hadir saat rapat dini hari itu ikut menandatangani teks proklamasi yang akan dibacakan pagi harinya. Tetapi usul ditolak oleh Soekarni, seorang pemuda yang hadir. Rapat itu dihadiri Soekarno, Hatta dan calon proklamator yang gagal : Achmad Soebardjo, Soekarni dan Sajuti Melik. "Huh, diberi kesempatan membuat sejarah tidak mau", gerutu Bung Hatta karena usulnya ditolak.

15. Jenderal Soedirman Tidak Pernah Duduki Jabatan Resmi
Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia Jenderal Soedirman, pada kenyatannya tidak pernah menduduki jabatan resmi di kabinet RI. Beliau tidak pernah menjadi KSAD, Pangab, bahkan menteri pertahanan sekalipun!

Kisah Seorang Putri Sholihah Yang Menakjubkan

Kisah seorang wanita yang bernama 'Abiir yang sedang dilanda penyakit kanker. Ia mengirimkan sebuah surat berisi kisahnya ke acara keluarga mingguan "Buyuut Muthma'innah" (rumah idaman) di Radio Qur'an Arab Saudi, lalu menuturkan kisahnya yang membuat para pendengar tidak kuasa menahan air mata mereka. Kisah yang sangat menyedihkan ini dibacakan di salah satu hari dari sepuluh terakhir di bulan Ramadhan lalu (tahun 2011). Berikut ini kisahnya –sebagaimana dituturkan kembali oleh sang pembawa acara DR Adil Alu Abdul Jabbaar- :

Ia adalah seorang wanita yang sangat cantik jelita dan mengagumkan, bahkan mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kecantikannya merupakan tanda kebesaran Allah. Setiap lelaki yang disekitarnya berangan-angan untuk memperistrikannya atau menjadikannya sebagai menantu putra-putranya. Hal ini jelas dari pembicaraan 'Abiir tatkala bercerita tentang dirinya dalam acara Radio Qur'an Saudi "Buyuut Muthma'innah". Ia bertutur tentang dirinya:

"Umurku sekarang 28 tahun, seorang wanita yang cantik dan kaya raya, ibu seorang putri yang berumur 9 tahun yang bernama Mayaa'. Kalian telah berbincang-bincang tentang penyakit kanker, maka izinkanlah aku untuk menceritakan kepada kalian tentang kisahku yang menyedihkan….dan bagaimana kondisiku dalam menghadapi pedihnya kankerku dan sakitnya yang berkepanjangan, dan perjuangan keras dalam menghadapinya. Bahkan sampai-sampai aku menangis akibat keluhan rasa sakit dan kepayahan yang aku rasakan. Aku tidak akan lupa saat-saat dimana aku harus menggunakan obat-obat kimia, terutama tatkala pertama kali aku mengkonsumsinya karena kawatir dengan efek/dampak buruk yang timbul…akan tetapi aku sabar menghadapinya..meskipun hatiku teriris-iris karena gelisah dan rasa takut. Setelah beberapa lama mengkonsumsi obat-obatan kimia tersebut mulailah rambutku berguguran…rambut yang sangat indah yang dikenal oleh orang yang dekat maupun yang jauh dariku. Sungguh…rambutku yang indah tersebut merupakan mahkota yang selalu aku kenakan di atas kepalaku. Akan tetapi penyakit kankerlah yang menggugurkan mahkotaku…helai demi helai berguguran di depan kedua mataku.

Pada suatu malam datanglah Mayaa' putriku lalu duduk di sampingku. Ia membawa sedikit manisan (kue). Kamipun mulai menyaksikan sebuah acara di salah satu stasiun televisi, lalu iapun mematikan televisi, lalu memandang kepadaku dan berkata, "Mama…engkau dalam keadaan baik..??". Aku menjawab, "Iya". Lalu putriku memegang uraian rambutku…ternyata uraian rambut itupun berguguran di tangan putriku. Iapun mengelus-negelus rambutku ternyata berguguran beberapa helai rambutku di hadapannya. Lalu aku berkata kepada putriku, "Bagaimana menurutmu dengan kondisiku ini wahai Mayaa'..?", iapun menangis. Lalu iapun mengusap air matanya dengan kedua tangannya, seraya berkata, "Waha mama…rambutmu yang gugur ini adalah amalan-amalan kebaikan", lalu iapun mulai mengumpulkan rambut-rambutku yang berguguran tadi dan meletakkannya di secarik tisu. Akupun menangis melihatnya hingga teriris-iris hatiku karena tangisanku, lalu aku memeluknya di dadaku, dan aku berdoa kepada Allah agar menyembuhkan aku dan memanjangkan umurku demi Mayaa' putriku ini, dan agar aku tidak meninggal karena penyakitku ini, dan agar Allah menyabarkan aku menahan pedihnya penyakitku ini….

Keeseokan harinya akupun meminta kepada suamiku alat cukur, lalu akupun mencukur seluruh rambutku di kamar mandi tanpa diketahui oleh seorangpun, agar aku tidak lagi sedih melihat rambutku yang selalu berguguran… di ruang tamu…, di dapur…di tempat duduk…di tempat tidur…di mobil…tidak ada tempat yang selamat dari bergugurnya rambutku.

Setelah itu akupun selalu memakai penutup kepala di rumah, akan tetapi Mayaa putriku mengeluhkan akan hal itu lalu melepaskan penutup kepalaku. Iapun terperanjak melihat rambutku yang tercukur habis. Ia berkata, "Mama..kenapa engkau melakukan ini ?!, apakah engkau lupa bahwa aku telah berdoa kepada Allah agar menyembuhkanmu, dan agar rambutmu tidak berguguran lagi?!. Tidakkah engkau tahu bahwasanya Allah akan mengabulkan doaku…Allah akan menjawab permintaanku…!!, Allah tidak menolak permintaanku…!!. Aku telah berdoa untukmu mama dalam sujudku agar Allah mengembalikan rambutmu lebih indah lagi dari sebelumnya…lebih banyak dan lebih cantik. Mama…sudah sebulan aku tidak membeli sarapan pagi di sekolah dengan uang jajanku, aku selalu menyedekahkan uang jajanku untuk para pembantu yang miskin di sekolah, dan aku meminta kepada mereka untuk mendoakanmu. Mama…tidakkah engkau tahu bahwasanya aku telah meminta kepada sahabatku Manaal agar meminta neneknya yang baik untuk mendoakan kesembuhanmu??. Mamaa…aku cinta kepada Allah…dan Dia akan mengabulkan doaku dan tidak akan menolak permintaanku…dan Dia akan segera menyembuhkanmu"

Mendengar tuturan putriku akupun tidak kuasa untuk menahan air mataku…begitu yakinnya ia…, begitu kuat dan berani jiwanya…lalu akupun memeluknya sambil menangis…".

Putriku lalu duduk bertelekan kedua lututnya menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya berdoa agar Allah menyembuhkanku sambil menangis. Ia menoleh kepadaku dan berkata, "Mama..hari ini adalah hari jum'at, dan saat ini adalah waktu mustajaab (terkabulnya doa)…aku berdoa untuk kesembuhanmu. Ustadzah Nuuroh hari ini mengabarkan aku tentang waktu mustajab ini." Sungguh hatiku teriris-iris melihat sikap putriku kepadaku... Akupun pergi ke kamarku dan tidur. Aku tidak merasa dan tidak terjaga kecuali saat aku mendengar lantunan ayat kursi dan surat Al-Fatihah yang dibaca oleh putriku dengan suaranya yang merdu dan lembut…aku merasakan ketentaraman…aku merasakan kekuatan…aku merasakan semangat yang lebih banyak. Sudah sering kali aku memintanya untuk membacakan surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Naas kepadaku jika aku tidak bisa tidur karena rasa sakit yang parah…akupun memanggilnya untuk membacakan al-Qur'an untukku.

Sebulan kemudian –setelah menggunakan obat-obatan kimia- akupun kembali periksa di rumah sakit. Para dokter mengabarkan kepadaku bahwa saat ini aku sudah tidak membutuhkan lagi obat-obatan kimia tersebut, dan kondisiku telah semakin membaik. Akupun menangis karena saking gembiranya mendengar hal ini. Dan dokter marah kepadaku karena aku telah mencukur rambutku dan ia mengingatkan aku bahwasanya aku harus kuat dan beriman kepada Allah serta yakin bahwasanya kesembuhan ada di tangan Allah.

Lalu aku kembali ke rumah dengan sangat gembira…dengan perasaan sangat penuh pengharapan…putriku Mayaa' tertawa karena kebahagiaan dan kegembiraanku. Ia berkata kepadaku di mobil, "Mama…dokter itu tidak ngerti apa-apa, Robku yang mengetahui segala-galanya". Aku berkata, "Maksudmu?". Ia berkata, "Aku mendengar papa berbicara dengan sahabatnya di HP, papa berkata padanya bahwasanya keuntungan toko bulan ini seluruhnya ia berikan kepada yayasan sosial panti asuhan agar Allah menyembuhkan uminya Mayaa". Akupun menangis mendengar tuturannya…karena keuntungan toko tidak kurang dari 200 ribu real (sekitar 500 juta rupiah), dan terkadang lebih dari itu.

Sekarang kondisiku –Alhamdulillah- terus membaik, pertama karena karunia Allah, kemudian karena kuatnya Mayaa putriku yang telah membantuku dalam perjuangan melawan penyakit kanker yang sangat buruk ini. Ia telah mengingatkan aku kepada Allah dan bahwasanya kesembuhan di tangan-Nya…sebagaimana aku tidak lupa dengan jasa suamiku yang mulia yang telah bersedekah secara diam-diam tanpa mengabariku yang merupakan sebab berkurangnya rasa sakit yang aku rasakan.

Aku berdoa kepada Allah agar menyegerakan kesembuhanku dan juga bagi setiap lelaki atau wanita yang terkena penyakit kanker. Sungguh kami menghadapi rasa sakit yang pedih yang merusak tubuh kami dan juga jiwa kami…akan tetapi rahmat Allah dan karuniaNya lebih besar dan lebih luas sebelum dan susudahnya"

(Diterjemahkan oleh Firanda Andirja, semoga Allah menyegerakan kesembuhan bagi ukhti 'Abiir)

Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 22-02-1433 H / 16 Januari 2011 M

sumber: cintaq.com

Hakekat Dan Rahasia Asal Kejadian Negeri Buton

Oleh : Asis
Sumber :
1. Saduran oleh La Ode Ichram tahun 1996, dari tulisan La Ode Tanziylu terjemahan Buku Tembaga yang judul aslinya (ASSAJARU HULIQA DAARUL BATHNIY WA DAARUL MUNAJAT dan tulisan La Ode Zaenu “Buton dalam Sejarah Kebudayaan”.
2. Ikhtisar Adat Istiadat dan Budaya Masyarakat Buton oleh Yayasan Keraton Wolio Buton
Pada tahun III (Hijriah atau tepatnya pada tahun 624 M, yang mana Rasulullah SAW selesai mengerjakan Shalat Fardhu Shubuh berjamaah bersama-sama para sahabat dan pengikut dari Kaum Muhajirin maupun Kaum Ansyardalam Mesjid. Beliau di Madinah (Masjid Quba). Seperti biasa selesai mengerjakan shalat fardhu para sahabat, pengikut dari kaum Muhajirin maupun Ansyar tidak langsung pulang ke rumah masing-masing, tetapi mendengarkan petuah atau nasehat dari Rasulullah SAW tentang segala hal yang belum mereka ketahui. Tatkala Rasulullah SAW sedang memberikan petuah atau nasehat, tiba-tiba terdengarlah oleh mereka suara dentuman sebanyak tiga kali berturut-turut, lalu dari salah seorang sahabat bertanya kepada beliau : Ya Rasulullah bunyi apakah gerangan tadi?, kemudian Rasulullah menjawab : Sesungguhnya bunyi dentuman yang baru kita dengarkan bersama tadi adalah : Menurut firman Allah SWT yang telah diwahyukan kepadaku melalui Hadits Qudsi “bahwa jauh dari sebeleh Timur Arabia ini ada dua gugusan tanah yang telah lama muncul dari permukaan laut untuk memperkenalkan dirinya kepada dunia.

Sedang menurut “Sabda Rasulullah SAW” bahwa manusia yang menjadi penghuni kedua negeri itu sebagian besar akan mengikuti seruanku yaitu beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Oleh karena itu sebelum kita didahului oleh bangsa lain untuk menginjakkan kakinya pada kedua negeri tersebut lebih baik kita yang mendahului.
Kemudian Rasulullah SAW mengutus salah seorang sahabatnya untuk mencari kedua negeri tersebut, akan tetapi sahabat yang ditunjuk beliau masih merasa takut. Selain itu situasi di Madinah saat itu masih dalam keadaan berkabung karena perang. Akhirnya pencarian kedua negeri tersebut ditangguhkan sambil menunggu keadaan Negeri Madinah normal kembali.
Karena gagal menunjuk salah seorang sahabat serta tidak ingin didahului oleh bangsa lain, Rasulullah SAW segera mengadakan musyawarah bersama para sahabatnya untuk membahasa rencana pencarian kedua negeri tersebut. Dalam musyawarah disepakati bahwa akan diutus dua orang bersaudara yaitu saudara Rasulullah SAW sendiri yang belum disebutkan namanya.
Kemudian pada tahun VII (ketujuh) Hijriah, Rasulullah SAW mengutus dua orang bersaudara (kakak beradik) yaitu saudara beliau dari Bani Hasyim untuk mencari kedua negeri yang dimaksud, yaitu masing-masing bernama :
1.    Abdul Gafur, ahli Biologi
2.    Abdul Syukur, ahli Antropolgi
Dalam suatu musyawarah yang dihadiri Ali bin Abithalib bersama istrinya Fatimatuh Zuhra (Fatima Az-Zahra) serta para kerabat tertentu. Dengan keputusan yang telah diambil. Rasulullah SAW berpesan kepada semua yang hadir agar hasil keputusan tersebut tidak disiarkan kepada yang lainnya. Sebab apa yang telah dibahas menyangkut ilmu Nabi dan bukan ilmu Rasul. Kemudian Rasulullah SAW berpesan kepada kedua utusan tersebut dengan sabda yang artinya :
Bawalah kedua bendera ini, dan pasanglah pada tiap-tiap negeri yang saudara-saudara jumpai. Adalah sebagai bukti yang menunjukkan bahwa kedua negeri itu adalah penemuanku. Dan perlu saudara-saudara sama maklumi bahwa hakekat dan rahasia isi hatiku pada kedua negeri dimaksud sangat erat dengan keadaanku, baik dalam bathinia maupun dalam lahiriah, dan ini adalah salah satu titipan sepeninggalku nanti pada saudara-saudara sebagai pusaka dariku untuk diwariskan kepada generasi penerus yang menjadi penghuni kedua negeri tersebut. Karena dari Mekah, Madinah dan kedua negeri yang kusesuaikan dengan susunan rangkaian namaku Muhammad yang empat hurufnya akan kujadikan pula menjadi hakekat rahasia yang terkandung dalam tiap-tiap huruf namaku menjadi nama keempat negeri yang dimaksud yaitu Mekkah, Madinah dan kedua negeri yang akan dicari oleh saudara-saudara utusanku.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda lagi, yang artinya :
1.    Mekkah itu kutamsil ibaratkan kepalaku dan makam hakekatnya dikandung huruf MIM awal dari rangkaian namaku Muhammad
2.    Dan Madinah ini kutamsil ibaratkan badanku, dan makam hakekatnya dikandung huruf HA dari rangkaian huruf namaku Muhammad
3.    Dan tanah yang mula-mula dijumpai oleh saudara-saudara utusanku, adalah kutamsil ibaratkan perutku dan kunamai di Bathniy (bathnun) yang artinya perutku. Sebagaimana yang tersebut tadi maka hakekatnya dikandung huruf MIM kedua dari rangkaian huruf namaku Muhammad
4.    Sedangkan tanah yang terakhir dijumpai oleh kedua utusanku adalah kutamsil ibaratkan kedua belah kakiku yaitu Rijalaan (Rijlun) artinya kedua belah kakiku, sebagaimana tersebut diatas dan makam hakekatnya dikandung huruf DAL, dari rangkaian huruf namaku Muhammad dan kunamai dia Munajat (tujuan)
Selanjutnya beliau bersabda lagi, sebagai berikut :
Menurut hakekat rahasia keyakinan hatiku, kedua negeri tersebut kunamai dia masing-masing BATHNIY dan RIJALAANI.
Karena Mekkah itu menurut rahasia keyakinan isi hatiku adalah kutamsil kepalaku, dan kita semua maklumi bahwa pada tiap-tiap kepala manusia mengandung suatu makam “DI MAQHA” namanya. Di Maqha inilah letaknya Mekkah itu yang kurangkaikan dengan MIM awal dari rangkaian huruf namaku sebagaimana yang saya katakan tadi. Karena di Mekkah lah mulai terbuka pikiranku untuk memperjuangkan kebenaran Islam sesuai dengan petunjuk Allah SWT. Sabda Rasulullah SAW :
WAL MAKKIYAH WARA’SUUKAL MIIMIL AWALI ALAA SUURATIL MUHAMMAD
Artinya :
Mekkah itu adalah kepalaki huruf MIM awal dari rangkaian namaku Muhammad
Begitu pula dengan Yatsrib atau MADINATUN NABI artinya Kota Nabi, adalah kutamsil ibaratkan badanku karena didalam badan manusia atau dada manusia itu merupakan suatu makam yang mengandung hati dalam hakekatnya dikandung huruf HA dari rangkaian huruf namaku Muhammad. Dan Hadits Rasulullah SAW berbunyi :
ALMADINAYAH WAL BADAANU KAL HA ALAA SUURATI MUHAMMAD
Artinya :
Madinah itu adalah dadaku huruf HA dari rangkaian huruf namaku Muhammad dan kutamsil ibaratkan dadaku.
Karena dalam sabda beliau yang artinya :
Dan Madinah inilah saya mengumpulkan semua kekuatan, pikiran maupun tenaga dengan tulus dan ikhlas karena Allah SWT, bersama para sahabat dan pnegikut-pengikut ku baik dari kaim Muhajirin maupun kaum Ansyar untuk mempertahankan kemegahan Islam yaitu agama yang benar dan lurus disisi Allah SWT.
Kemudian Rasulullah bersabda lagi, yang artinya :
Demikian pula pertama yang dijumpai dari kedua saudara-saudara utusanku, saya namai Bathniy atau perutku, karena semua dalam perut itu sebagian melalui jantung. Itulah sebabnya saya namai Bathniy sebab di negeri itu merupakan suatu HAZANA bagiku untuk kujadikan pembendaharaan penyimpanan hakekat rahasia agama yang kuperjuangkan dan mengenai hubungannya dengan Allah SWT. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:
WAL BATHNIY KALMIYMITS TSAANI ALAA SUURATI MUHAMMAD
Artinya :
Bathniy kutamsil ibaratkan perutku dari huruf MIM kedua rangkaian namaku Muhammad
Dalam syair Kabanti Kanturuna Mohelana (sastra klasik Buton) berikut ini :
Tuamosi yaku kupatindamo,
Ikompona incema euyincana,
Kaapaaka upeelu butuni,
Kumaanaia butuni o kompo,
Motodhikana inuncana qura’ani,
Itumo dhuka nabita akooni,
Apayincana sababuna tanasiy,
Tuamo siy auwalina wolio,
Inda kumondoa kupetula-tulakea,
Sokudhingki auwalina tuasiy,
Toakana akosaro butuni,
Amboresimo pangkati kalangana,
Artinya :
Demikian inilah saya bertanya, Diperut siapa engkau tampak, Karena engkau suka butuni, Kuartikan butuni mengandung, Yang terdapat dalam Al Qur’an, Disitu pula Nabi bersabda, Menjadi asal sebab tanah Wolio, Demikian ini awalnya Wolio, Tidak selesai kuceritakan semua, Sebabnya bernama butuni, Karena menempati derajat yang tinggi.
Dan sabdanya lagi yang artinya :
Sedang negeri terakhir yang ditemui oleh kedua saudara utusanku, kutamsil sebagai kedua belah kakiku dan kunamai Munajat.
Karena bunyi dentuman yang pertama menandakan bahwa negeri itulah yang pertama-tama memperkenalkan dirinya kepada dunia. Bertepatan dengan bunyi dentuman tersebut Munajatnya pula doa saya kehadirat Allah SWT untuk memohon syafaat kepada semua umat pengikut Ku dan kumohonkan petunjuk yang benar bagi manusia yang berada ditempat kejahilan dan kekafiran. Mudah-mudahan mereka beriman dan taqwa kepada Allah SWT.
Beliau bersabda lagi :
WAL MUNAJAT RAJALAANIY KAL DAL ALAA SUURATI MUHAMMAD
Artinya :
Negeri Munajat adalah kedua belah kakiku huruf DAL dari rangkaian huruf namaku Muhammad
Kemudian Rasulullah SAW bersabda lagi :
Artinya :
Wahai saudara utusanku Abdul Gafur dan Abdul Syukur, berangkatlah sebagai pelaksanaan Jihad Fisabilillah.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda lagi :
WALAA TAHZAN INALLAHA MA’NAA
Artinya :
Dan janganlah takut dan gentar, Allah SWT bersama kita.
Ambillah kedua bendera ini, dan pasangkanlah satu persatu di negeri yang saudara-saudara jumpai dan pesanku pada saudara-saudara, laksanakanlah dengan hati yang hati yang tulus ikhlas untuk keagungan dan kemuliaan nama saudara-saudara dan merupakan lambang bukti perjuangan saudara-saudara yang menghiasi lembaran sejarah dikemudian hari.
Kemudian kedua utusan ini menerima kedua bendera tersebut dari tangan Rasulullah SAW. Kedua bendera tersebut berwarna sama yaitu hijau ditulis aksara Arab dengan hiasan sulaman benang emas berbunyi “ LAILAHA ILALLAH MUHAMMADAR RASULULLAH” (Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah).
Dengan diiringi doa dan restu dari Rasulullah SAW, sahabat-sahabat dan keluarga yang ditinggalkan, mudah-mudahan pencarian kedua negeri tersebut oleh kedua utusan dikabulkan oleh Allah SWT dan kembali ke Negeri Medinah dalam keadaan selamat. Maka berangkatlah kedua utusan tersebut meninggalkan Medinah menuju Jeddah untuk mengarungi lautan dan samudera, guna mencari kedua negeri yang diwasiatkan oleh junjungan kita yang mulia Nabi Besar Muhammad SAW, yang dilengkapi dengan hakekat bahtera (kapal) dan skema hubungan keempat negeri seperti yang disebutkan.
Kedua utusan Rasulullah SAW tidak langsung menemukan kedua negeri yang diwasiatkan, tetapi Abdul Gafur dan Abdul Syukur mengembara ke beberapa negeri seperti Johor, Pasai dan Cina dan masih banyak lagi negeri-begeri yang dilewati, tetapi tidak diriwayatkan oleh kedua utusan tersebut. Sehingga pengembaraan untuk mencari kedua negeri yang diwasiatkan oleh Rasulullah SAW menghabiskan waktu kurang lebih 60 tahun.
Penemuan kedua negeri oleh utusan Rasulullah SAW tersebut, mengenal asal mula terjadinya negeri Buton dan Muna seperti yang diriwayatkan oleh kedua utusan tersebut, adalah bertetapan dengan malam Nisif Sya’ban yaitu lima belas malam bulan di langit yang malam itu bertetapan dengan 60 tahun setelah wafatnya Rasulullah SAW, berarti telah memasuki abad VII. Saat itulah kedua utusan Rasulullah SAW tiba di suatu negeri yang belum dihuni oleh manusia.
Dari kejauhan nampak oleh mereka daratan, yang baru dilihat oleh salah seorang dari kedua utusan tersebut, lalu berkata “BATHA GAFURA” artinya pasir gafur dan kata yang diucapkan salah seorang utusan Rasulullah SAW diabadikan menjadi sebuah nama kecamatan yaitu Kecamatan Batauga (sekarang wilayah Kabupaten Buton). Kemudian kedua utusan tadi terus menyusuri pantai dan salah seorang dari kedua utusan berkata lagi bahwa : pinggir pantai yang baru kita jumpai ini bagaikan pinggiran pantai Masyira (Mesir), kemudian kakak beradik Abdul Gafur dan Abdul Syukur selaku mandataris dari Rasulullah SAW mendarat di negeri yang baru mereka temukan untuk melakukan penyelidikan.
Setelah meneliti keadaan negeri yang baru ditemukan tadi, Abdul Gafur menulis pada sebuah batu bunyinya “MASYIRA”. Namun sayang prasasti yang ditulis itu, sekarang sudah hilang karena waktu dan keadaan. Tulisan tersebut diabadikan menjadi nama sebuah desa yaitu Desa Masiri (wilayah Kec. Batauga Kab. Buton).
Setelah mengitari daerah pantai dan menulis batu prasasti, kedua utusan tersebut mencari dataran tinggi. Seharian penuh mereka berjalan dan setelah matahari terbenam keduanya baru beristirahat untuk melaksanakan Shalat Fardhu Maghrib. Selesai melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim, tiba-tiba terdengar oleh keduanya suara adzan. Kedua utusan Rasulullah SAW itu kaget, sebab di negeri yang baru mereka temukan itu belum mempunyai penghuni manusia. Lalu kedua utusan itu mencari arah datangnya suara yang baru didengarnya, dari kejauhan nampak sebuah lubang menyerupai gua yang masuk lurus ke dalam tanah. Diamatinya lubang tersebut dengan cermat lalu salah seorang dari kedua utusan berkata, bahwa suara saudara kita “ZUBAIR” sedang menyuarakan adzan Zhohor dan didalam gua itu samar-samar terlihat Hajar Aswad di Mekkah sedang berdzikir. Melihat kenyataan itu kedua utusan tersebut langsung mengerjakan shalat Fardhu Zhohor, sekalipun mereka belum lama melaksanakan Shalat Magrib. Itulah sebabnya masyarakat Buton zaman dulu apabila melaksanakan Shalat Idul Fithri dan Idul Adha selalu masuk waktu Zhohor karena bersama dengan di Mekkah (kepala). Pendengaran dan penglihatan kedua utusan itu tersebut bukan seperti penglihatan dan pendengaran kebanyakan orang, tetapi atas kehendak Allah SWT sehingga dapat melihat dan mendengar bukan dengar bentuk lahiriah. Dari legenda tersebut bahwa jika kakek, nenek, ayah dan ibu atau saudara kita yang sudah meninggal dunia dapat dilihat dari lubang tersebut.
Dimulut gua inilah Abdul Gafur menulis aksara Arab yang berbunyi “BATHN” dan tulisan tersebut sampai sekarang masih ada, namun telah ditutupi oleh pondasi Masjid Agung Keraton Buton sebagai Muhabat Utama.
Abdul Gafur dan Abdul Syukur merahasiakan keberadaan gua yang mereka temukan karena penuh dengan rahasia dan merupakan pusat tanah (pusat dunia), sehingga masuk di akal apabila Rasulullah SAW menamainya Bathniy atau perut. Dan disinilah kedua utusan memasang bendera Rasulullah SAW, yang sekarang diabadikan menjadi tempat tiang bendera Kerajaan atau Kesultanan Buton.
Kedua utusan tersebut menyimpulkan bahwa negeri yang baru mereka temukan itu berasal dari segumpal buih air laut dan tanahnya masih muda usia. Dari daratan Bathniy/Bathn/Buton, diseberang laut terlihat oleh kedua utusan itu sebuah daratan lain. Kemudian didatanginya daratan tersebut dari daratan Buton. Sesampainya ditempat yang mereka tuju, keduanya mengadakan penelitian untuk mengetahui keadaan tanah daratan yang baru mereka temukan. Lalu mereka mencari dataran yang letaknya lebih tinggi, setibanya kedua utusan tadi menemukan batu berbentuk pohon sehingga tempat itu mereka namai “SIRATUL HIJIR” artinya Pohon Batu.
Pohon batu yang ditemukan oleh kedua utusan Rasulullah SAW tersebut tumbuhya dipinggir tebing dan disinilah Abdul Gafur dan Abdul Syukur memasang bendera Rasulullah SAW seperti yang dipasang pada negeri yang pertama mereka temukan yaitu negeri Bathniy. Kemudian mereka menulis nama negeri itu “MUNAJAT” yang sekarang disebut “MUNA” maksudnya adalah isi kandungan hakekat rahasia Mina kota Arab lama.
Penelitian yang dilakukan oleh kedua utusan itu mengatakan bahwa negeri Munajat kejadiannya dari pecahan kabut atau FILIYIN yang telah pijar merupakan suatu batu Nuqthah adalah titik BAH yang penuh berkah merupakan salah satu iradat Allah SWT.
Adapun asal kejadian Buton menurut hasil penyelidikan kedua utusan Rasulullah SAW adalah berasal dari segumpal buih pecahan batu Nuqthah tadi, dan atas izin Allah SWT sebagai HALIQUL ASY YAI yang menjadikan alam semesta dan segala isinya, akhirnya buih yang dimaksud menjadi segumpal tanah.
Dari kedua penelitian tersebut diartikan bahwa negeri Buton lebih muda umurnya daripada negeri Muna. Buton lebih dahulu dihuni oleh manusia dan berkahnya melebihi negeri Muna. Sedang penghuni-penghuninya adalah wali-wali Allah SWT yang alim. Selanjutnya menyebar keberbagai daerah seperti kedua utusan Rasulullah SAW Abdul Gafur dan Abdul Syukur, setelah menetap beberapa saat di negeri Buton dan Muna, keduanya kembali dan pindah ke negeri Pasai, Johor dan Cina, yang merupakan alur perjalanannya dari Jeddah (Mekkah) dan tidak kembali lagi ke negeri asalnya Madinah seperti harapan keluarganya.

Hikayat Sipanjonga Sebagai Sumber Sejarah Buton dan Konsekuensi Historiografisnya

Oleh: La Ode Rabani(Universitas Airlangga-Surabaya)
A. Pengantar
Perkembangan historiografis pada beberapa tahun terakhir dan perubahan politik yang terjadi di negara-negara berkembang telah membawa angin segar bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya sejarah. Perkembangan ilmu sejarah menuju ke arah yang lebih baik seiring dengan munculnya pendekatan baru dalam memahami peristiwa sejarah. Definisi sejarah yang diperluas telah membuka kesempatan untuk menulis tema-tema baru dalam kajian sejarah masa kini. Kajian sejarah juga telah memperluas penggunaan sumber untuk menulis sejarah. Sebelumnya, sumber sejarah hanya didominasi oleh sumber dokumen yang mengakar pada pendapat no document no history seperti yang dikemukakan oleh von Ranke.

Pendapat itu pada perkembangan mutakhir tidak dapat dipertahankan. Menguatnya pendekatan struktural, hermeunetik, posmodernisme, dan terakhir adalah subalten history telah memperluas penggunaan sumber sejarah. Saat ini sejarah yang ditulis bisa menggunakan sumber lisan (wawancara-interniew), sumber tradisional seperti hikayat, tambo, babad, dan mithos, meskipun harus mencermati sumber itu secara ketat dan selektif. Artinya tidak semua unsur dalam karya itu menjadi sumber sejarah yang valid. Kritik sumber, verifikasi, interpretasi dan analasis yang ketat untuk menemukan fakta  dalam sumber tradisional menjadi syarat utama. Hal itu terjadi karena ada banyak unsur yang menyertai rekonstruksi dari lahirnya sebuah naskah-naskah tradisonal seperti itu.
Naskah Tradisonal dalam proses pembuatannya selalu melibatkan orang-orang besar dan untuk kepentingan orang besar pula. Dalam sejarah juga kita tidak pernah menemukan lapisan sosial bawah yang bisa menulis karya-karya agung seperti I Lagaligo di Bumi Sawerigading, Luwu Makassar, Tambo di Minangkabau, Babad Tana Jawi di Jawa, Hikayat dari Melayu, dan manuskrip lain. Isi dari naskah itu kebanyakan peran raja, bangsawan, dan para pembesar kerajaan yang ada di dalamnya. Selain itu, isi biasanya  peristiwa politik yang dipenuhi unsur mistis dan peristiwa suksesi dan proses penobatan raja. Terdapat juga pembagian wilayah kekuasaan para raja dan pembantu raja serta para pembesar kerajaan lainnya. Dalam hubungan itu, interpretasi terhadap Hikayat Sipanjonga dianalisis sehingga kita mampu menemukan fakta sebenarnya.

B. Interpretasi Hikayat Sipanjonga sebagai Sumber Sejarah Buton
Makalah ini membahas Hikayat Sipanjonga sebagai sumber sejarah Buton dan konsekuensi historiografisnya, sebuah analisis hermeunetik. Pembahasan diarahkan untuk mengungkap interpretasi dan pemakaian hikayat sebagai sumber sejarah yang terkandung dalam Hikayat Sipanjonga hingga sekarang. Terdapat tiga alasan untuk menulis tema ini. Pertama, penulisan dan interpretasi sejarah Buton yang menggunakan Hikayat Sipanjonga sebagai sumber sejarah tidak pernah berubah yakni Buton dibangun oleh mia pantamiana (empat manusia pertama) yang berasal dari Johor Melayu. Keempat orang itu adalah Sipanjongan, Sitamanajo, Sijawangkali, dan Simalui.[1] Kedua, terdapat penafsiran yang berbeda pada isi Hikayat Sipanjonga yang menceritakan keberadaan Mia Pantamiana di Buton yang “dianggap” sebagai peletak dasar kerajaan dan manusia pertama di Buton.
Menurut Susanto Zuhdi dalam disertasinya mengatakan bahwa Kisah-kisah yang ditemukan dalam Hikayat Sipanjonga memperlihatkan adanya proses adaptasi antara kelompok pendatang dengan penduduk asli. Hal ini terlihat dari adanya kisah dalam naskah Hikayat Sipanjonga yang melibatkan pertarungan Sijawangkati yang menebang pohon enau yang ternyata pohon itu sudah dikuasai oleh Dungkuncangia yang sakti. Keduanya sama-sama kuat dan  tidak saling mengalahkan. Akhirnya mereka sepakat berdamai dan rukun serta saling membantu dalam ikatan persaudaraan. Dungkuncangia diketahui sebagai kepala negeri (raja) dari Tobe-Tobe, yang berjarak sekitar 7 km dari Wolio. Dalam kesepakatan itu Dungkuncangia setuju untuk bergabung dengan Wolio.[2] Pendapat seperti ini tidak pernah ditemukan dalam penelitian dan tulisan sebelumnya.
Dalam kajian Hasaruddin yang dipresentasikan pada Simposium Internasional IX Pernaskahan Nusantara di Kota Bau-Bau yang kemudian dimuat dalam Jurnal Filologi Melayu, Jilid 14, 2006 mengatakan dengan tegas bahwa Mia Pantamiana ialah bangsawan dari daratan Malaka sebagai orang pertama yang menjadi peletak dasar kerajaan Buton. Pada bagian lain dari artikel itu Hasaruddin mengatakan bahwa Sipanjongan adalah seorang raja di Johor tepatnya di pulau Liya karena dalam pelayarannya menuju Buton membawa perbekalan seperti halnya seorang raja.[3] Hasaruddin juga mengatakan bahwa Sipanjongan melakukan pernikahan dengan rombongan kedua Simalui yang datang ke Buton. Saudara Simalui itu adalah Sabanang. Hasil pernikahan Sipanjonga dengan Sabanang ini melahirkan anak yang kemudian dinamakan dengan Betoambari.[4] Perkawinan Sipanjongan dengan Sabanang menjadi pemersatu antara kedua gelombang pendiri kerajaan Buton.[5] Pernikahan Sipanjongan dengan Sabanang tidak pernah diungkap oleh tulisan lain.
Ketiga, dalam buku yang berjudul Sejarah Terjadinya Negeri Buton dan Negeri Muna atau Assajaru Huliqa Daarul Bathniy wa Daarul Munajat (Saduran Asli) yang dialihbahasakan oleh Ustaz Akbar Maulana Sayid Abdul Rahman Hadad di Gresik pada tahun 1863 M yang kemudian disalin ulang oleh La Ode Muhammad Ahmadi (mantan Qadhi Masjid Agung Keraton Buton), La Ode Muhammad Amir (mantan Qadhi Masjid Agung Keraton Buton), dan La Ode Muhammad Tanziylu Faizal Amir (Mantan Imam Lipu Malaga/Wantiro) mengatakan bahwa Sipanjongan tidak pernah menikah seperti halnya anggota perantau Johor yang lain.[6] Buku ini juga memuat adanya sepuluh orang yang menjadi pemimpin manusia yang mula-mula mendiami negeri Buton. Kesepuluh orang itu juga disebut dalam buku sebagai orang yang menulis kitab sejarah terjadinya negeri Buton dan Muna.[7] Dengan tiga alasan itu, berarti masih adanya ruang untuk berdiskusi lebih lanjut mengenai asal usul masyarakat dan sejarah Buton, khususnya fakta mengenai manusia pertama dan peletak dasar kesejarahan kerajaan Buton (Butun).
C. Penciptaan Naskah Tradisional
Peneliti Barat (Eropa) yang berminat pada penelitian kawasan Asia Tenggara pada awalnya tidak tertarik untuk menjadikan naskah tradisional sebagai sumber sejarah Asia Tenggara. Hal ini dipicu oleh rumitnya mencari fakta dalam berbagai naskah Asia Tenggara. Selain itu ada banyak kontradiksi, banyak nama, dan banyak peristiwa dalam naskah-naskah tradisional Asia Tenggara. Yang lebih memprihatinkan lagi, peneliti Eropa menganggap tidak ada informasi penting dan masuk akal yang perlu diambil dari naskah-naskah tradisional yang tersebar di Asia Tenggara.
Anggapan itu berubah ketika beberapa ada sebagian peneliti dan penguasa Eropa yang menulis tentang Asia Tenggara. Di Indonesia kita menyebut Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stanford Raffles yang menulis History of Java. Dalam karya ini Rafles menggunakan sumber babad untuk menjelaskan peristiwa yang terjadi dalam kerajaan Mataram di tahun 1700an. Konflik Mataram Yogyakarta dan Surakarta berbuntut pada terpecahnya Mataram menjadi dua kerajaan. Sumber Babad membantu Rafles memahami konflik kepentingan di dalam istana Mataram.[8] Hal serupa dilakukan oleh Virginia Matheson yang membahas konflik di Kesultanan Johor sebagai bagian yang berhubungan dengan Lingga Riau. Viginia Matheson mampu membuktikan adanya peran orang-orang Bugis dan Bajak Laut yang membantu Johor untuk mempertahankan eksistensi di tengah persaingan dengan kekuatan yang lebih kuat yakni kekuatan VOC seperti yang disebutkan dalam hikayat Tuhfat al Nafish.[9] Penggunaan naskah tradisional itu sebagai sumber sejarah ikut mempengaruhi substansi dan lahirnya fakta-fakta baru dalam sejarah Asia Tenggara pada masa-masa kemudian, termasuk sejarah Indonesia saat ini. Pada konteks itu penggunaan Hikayat Sipanjonga dipahami.
Hikayat Sipanjonga sebagai sumber sejarah Tradisional Kerajaan Buton hingga saat ini masih terus dipergunakan tanpa ada perluasan analisis terhadap maksud dan tujuan naskah itu dibuat. Seperti kebanyakan naskah lainnya, di balik penciptaan naskah si Panjonga pasti ada proses sebelum naskah itu menjadi utuh sampai sekarang.
Seperti diketahui Naskah Hikayat Sipanjonga ditulis oleh seorang pedagang Banjar pada tahun 1267 H atau 1850 seperti diungkap oleh Hasaruddin dalam buku Naskah Buton, Naskah Dunia.[10] Isi hikayat antara lain memuat dengan jelas sosok Sipanjongan yang menjadi raja di Pulau Liya sebagai seorang yang dermawan, memiliki harta yang banyak, dan memilik banyak saudara. Naskah juga menjelaskan proses tidurnya Sipanjongan yang bermimpi bertemu dengan seorang tua dan mengatakan kepadanya bahwa “hai cucuku, apa juga sudinya cucuku tinggal di pulau ini”? lebih baik engkau mencari lain tempat yang lebih baik dari pulau ini, karena pulau ini bukan cucuku yang memegang dia.[11] Selanjutnya Sipanjongan melakukan pelayaran ke timur  dengan membawa perbekalan yang cukup. Dalam pelayarannya ini Sipanjongan dan rombongannya menggunakan Palulang yakni jenis perahu yang digunakan untuk berlayar mengarungi lautan. Dalam pelayarannya Sipanjongan memilih waktu baik agar selamat sampai di tempat tujuan. Satu penjelasan dari naskah adalah adanya angin yang kencang dan mendorong Palulang hingga kecepatan perahu sama dengan rajawali yang terbang sehingga pulau Liya tempat sang Raja (Sipanjongan) berkuasa hilang dalam sekejap.
D. Memperluas Analisis Hikayat Sipanjonga (HSP).
Seperti kebanyakan naskah-naskah pribumi yang dihasilkan oleh intelektual Tradisonal Asia Tenggara termasuk Indonesia khususnya karya yang dihasilkan di dalam istana cenderung bersifat istana sentris. Istana sentris mengacu pada pemahaman bahwa isi kitab atau kitab yang kemudian kita kenal dalam berbagai sebutan seperti hikayat, tambo, lontara, hikayat babad dan sejenisnya berisi peran besar istana (raja) atau para pembesar kerajaan dalam membangun dan mengembangkan kerajaan yang dipimpinnya, termasuk di Kerajaan Buton. Dari sejumlah naskah (manuskrip) yang dihasilkan selalu mengungkap kebesaran raja dan para pembesar kerajaan sebagai ciri umum yang berlaku untuk sebagian besar manuskrip yang dihasilkan di Asia Tenggara.
Manuskrip-manuskrip itu ditulis untuk berbagai kepentingan. Naskah HSP ditulis sebagai warisan pengetahuan  agar generasi penerus kerajaan Buton diketahui. HSP seperti disebutkan di atas bahwa sumbangan pengetahuan penting dari hikayat ini adalah mengenai manusia/pendatang pertama di Buton yang kemudian mendirikan kerajaan Buton. Mereka datang dari Melayu dan membawa simbol kebesaran kerajaannya yang dipasang diburitan perahu yang mereka tumpangi. Naskah ini juga diketahui sebagai salinan yang dilakukan oleh seorang pedagang Banjar yang singgah dalam perjalannya menuju Sumbawa.
Naskah HSP telah menjadi sumber utama penulisan sejarah Buton dan tidak pernah ada kemajuan dalam interpretasi maupun mencoba membandingkan dengan naskah saduran lain kecuali yang dilakukan Susanto Zuhdi (1999) yang mengatakan bahwa Hikayat Sipanjonga memperlihatkan adanya proses adaptasi antara kelompok pendatang dengan penduduk asli. Dari sisi ini terdapat kemajuan yang berarti atas interpretasi naskah. Belum ada interpretasi dan kajian lanjutan setelah Susanto Zuhdi menemukan sisi lain dari HSP. Setelah 10 tahun interpretasi lama dihadirkan kembali sehingga historiografi kritis tidak berkembang sebagaimana diharapkan Susanto Zuhdi.[12]
Jika membandingkan antara isi Hikayat Sipanjonga dengan Sejarah Terjadinya Negeri Buton dan Negeri Muna atau dalam bahasa Arab Assajaru Huliqa Daarul Bathniy wa Daarul Munajat (Saduran Asli) yang dikarang oleh Ustadz Akbar Maulana Sayid Abdul Rahman Hadad di Gresik tahun 1863 dalam aspek yang sama terhadap sejarah Buton terdapat perbedaan. Perbedaan itu terlihat pada orang-orang yang berperan penting dalam proses perjalanan Sejarah Buton. Dalam Saduran naskah Assajaru Huliqa Daarul Bathniy wa Daarul Munajat disebutkan terdapat  10 orang yang memberikan kontribusi pada ilmu pengetahuan dan membangun kerajaan Buton. Kesepuluh orang itu adalah Sipanjonga, Sitamanajo, Simalui, Sisajangkawati, Dungku Cangia, Sang Ria Rana atau Sanga Riarana, Banca Patola, Kaudoro, Raden Jutubun atau Baubesi, dan Raden Sibatara atau Sabatara.
Kandungan  (isi)  Assajaru Huliqa Daarul Bathniy wa Daarul Munajat menjadi bukti yang mendukung pendapat Susanto Zuhdi. Dengan begitu HSP tidak harus dipahami apa adanya tetapi perlu dikembangkan dengan interpretasi yang lebih kritis, sehingga kita menemukan fakta sebenarnya dalam menjelaskan sejarah Buton yang pernah menjadi bagian penting dalam sejarah Kerajaan dan Islam Indonesia. Perbedaan kedua isi itu sebenarnya saling melengkapi yang menghadirkan fakta baru bahwa ada orang lain selain mia pantamiana yang membangun Buton sebagai sebuah entitas masyarakat yang hidup pada jamannya. Selain itu, salah satu fakta yang ada di dalam naskah HSP yang memuat sejarah manusia pertama di Buton secara faktual harus direvisi karena tidak memberikan tempat bagi orang lain selain mia pantamiana yang memiliki sejarah di daerah itu. Dengan penjelasan itu maka HSP sama dengan karya-karya tradisional yang lain dengan ciri umum pada istana sentris dan mengabaikan kelas sosial lain dalam perjalanan sejarah sebuah pemeritahan/kekuasaan.
Fakta lain juga menunjukan bahwa aktivitas utama pada periode itu adalah perdagangan dan muhibah agama. Keduanya berjalan saling mendukung. Bedagang sambil menyebarkan agama adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan, meskipun salurannya menggunakan budaya lokal untuk mempermudah misi itu berjalan. Agama Hindu Budha dan Islam serta Kristen juga menggunakan cara ini agar lebih mudah diterima masyarakat.
Posisi Buton yang terletak di jalur perdagangan Internasional yakni di antara Maluku sebagai penghasil rempah-rempah yang laku di pasar internasional dan bisa menjangkau pasar Cina dan Asia Tenggara dan Selatan ikut memperkuat fakta bahwa daerah ini tidak sepi dari para pedagang. Jika pendapat van Leur yang mengatakan bahwa ciri utama perdagangan awal di Indonesia adalah menyusuri pulau-pulau terdekat untuk kemudian meneruskan perjalannya ke tempat tujuan.
Dalam sejarah Buton juga dicatat adanya kerajaan-kerajaan kecil sebelum kerajaan Buton (di Wolio/keraton Buton sekarang) berdiri. Kerajaan Buton tumbuh dari empat kampung yang bersatu. Keempat kampung itu adalah kampung Baluwu, Gundu-gundu, peropa, dan Barangkatopo. Dalam bahasa setempat dinamakan dengan pata limbona. Keempat kampung itu dipimpin oleh menteri atau bonto. Perluasan kekuasaan Buton juga ditandai dengan bergabungnya lima kampung lain sehingga Buton menjadi sembilan (9) kampung atau dalam bahasa setempat dinamakan dengan sio limbona. Kelima kampung yang bergabung dengan Buto itu adalah kampung Sambali, Melai, Gama, Wandailolo, dan Rakia. Pekerjaan penduduk kampung itu sebagian besar sebagai perajin emas, perak, dan tembaga.
Buton benar-benar menjadi luas ketika 72 kadi (kampung) ikut bergabung di dalamnya. Perluasan ini menunjukan kekuasaan kerajaan Buton yang kuat dan mampu mengontrol hampir seluruh pulau itu.[13] Penjelasan ini menunjukan membuktikan adanya kelompok masyarakat lain di luar empat manusia pertama sebagaimana yang dipahami selama ini dalam menulis sejarah Buton.
Undang-undang Martabat Tujuh yang selama ini di kenal di Buton sudah ada di Aceh dengan kandungan yang hampir sama. Sementara konsep kampung yang bernama kadi di Buton juga terdapat dalam bahasa Aceh. Hal ini berarti bahwa Buton dan Aceh (semenanjung Melayu) melakukan kontak intensif. Tradisi intelektual yang berlangsung dalam Kerajaan/Kesultanan Buton dibangun dari kontak budaya yang berlangsung antara keduanya. Bisa jadi Aceh (Pasai) sebagai Kerajaan Islam Pertama memiliki andil besar dalam proses pengembangan tradisi tulis dan pengembangan intelektual elite kerajaan, tanpa mengabaikan peran para pedagang yang melakukan kontak dengan kerajaan di Buton.
E. Konsekuensi Historiografis
Memahami penulisan sejarah Buton yang dimulai dengan  manusia pertama mia pantamiana sebagai empat manusia pertama, sama saja mengabaikan orang-orang yang tidak memiliki tradisi tulis yang mendiami Buton sebelumnya. Sejarah Masa Hindu di Sulawesi yang berlangsung beberapa abad sebelum datangnya mia pantamiana adalah bukti bahwa keberadaan masyarakat yang belum memiliki tradisi tulis itu sudah mendiami pulau Buton meskipun pemerintahannya masih belum pantas disebut kerajaan. Mereka baru memiliki pemimpin tradisional yang belum memiliki undang-undag tertulis, bentuk kerajaan, dan sebagainya. Doa-doa untuk pengobatan, keselamatan, dan upacara-upacara adat yang secara turun temurun diwariskan secara lisan kepada anak cucu mereka menjadi bukti adanya warisan lokal melalui bahasa. Sebagaimana terdapat dalam lafal doa, beberapa bagian dari doa juga dicampur dengan pengaruh Islam yang kental. Ini menandakan adanya percampuran dan saling pengaruh antara bahasa Lokal dan Islam di Buton. Bahasa Lokal yang dipakai tidak seluruhnya berasal dari Melayu dan bahasa Arab. Mereka membangun bahasanya sendiri.
Jika dilihat dari HSP, maka bahasa masyarakat Buton yang ada dan diwariskan pada generasi sesudanya adalah bahasa Sipanjonga dan Rombongannya (Melayu) dan Arab (Islam). Adanya bahasa lokal yang dominan dan dibangun atas telah melemahkan fakta dalam HSP yang selama ini dikutip oleh para peneliti sejarah Buton.
Assajaru Huliqa Daarul Bathniy wa Daarul Munajat (Saduran Asli) yang dikarang oleh Ustadz Akbar Maulana Sayid Abdul Rahman Hadad di Gresik tahun 1863 juga ikut menjadi bukti lain betapa HSP lemah secara metodologi untuk mengatakan bahwa empat manusia itu yang membagun Buton. Dengan demikian historiografi sejarah Buton yang dibangun atas 1 sumber yang berasal dari HSP perlu ditinjau kembali. Penggunaan satu sumber telah mengabaikan sumber lain yang bisa dipertanggungjawabkan secara metodologi.
Sejarah Buton dalam kitab itu justru ditemukan oleh utusan khusus Nabi Muhammad yang bernama Abdul Gafur dan Abdul Syukur. Dalam tradisi lisan Buton dikatakan bahwa nama Buton berasal dari kata Bathny yang berarti perut. Perut ini diambil dari hurum MIM yang berasal dari nama Muhammad. Dalam perjalanan kedua utusan itu sebelum sampai di Buton mereka harus singgah dulu di Johor, Pasai, dan Cina serta beberapa negeri lain yang tidak disebutkan.dengan keterangan ini menunjukan bahwa sudah kontak intensif antar pulau pada waktu itu. Kontak seperti ini membuka lahirnya komunikasi budaya yang saling mempengaruhi. Akibatnya adaptasi dan konflik berdasarkan kepentingan selalu menyertai proses historis budaya yang berkembang kemudian.
F. Kesimpulan
Menjadikan HSP sebagai satu-satunya rujukan untuk menulis sejarah Buton bukan menjadi solusi di tengah perkembangan historiografis yang semakin kritis. HSP mengandung konsekuensi historiografis yang luar biasa, karena kesan yang dimunculkan oleh HSP adalah Buton didirikan oleh mia pantamiana dari Johor (Melayu). Itu artinya semua produk intelektual (naskah, Manuskrip, dan sebagainya) bisa saja menjadi milik pendirinya sebagai warisan.
Kenyataan bahwa Buton tidak didirikan semata-mata oleh peran manusia pertama yang terdiri dari empat orang itu terlihat dari proses perkembangan kerajaan Buton yang dibangun dari kampung-kampung yang sudah lebih dahulu eksis. Karena itu, amatlah bijak kalau mengatakan bahwa Buton dibangun oleh banyak elemen masyarakat yang bertempat tinggal di pulau itu. Berdirinya Kerajaan Buton memang dalam HSP disebutkan pendirinya adalah empat manusia pertama. Tetapi dalam Assajaru Huliqa Daarul Bathniy wa Daarul Munajat menggambarkan adanya perintah Sipanjonga “WE berarti perintah buatlah dan LIA berarti perkampungan”. Jadi perintah itu menunjukan ada orang lain yang mengerjakan perintah untuk membangun perkampungan di Wolio (Buton). Perkampungan ini kemudian diketahui sebagai pusat Kerajaan Buton.[14]
Bahasa naskah-naskah Buton sebagaimana realitas yang masih tersimpan menunjukan bahasa Melayu, Arab Gundul dan bahasa Belanda. Hal ini bukan berarti naskah itu merupakan produk intelektual Melayu dan Arab. Untuk hal ini penulis memahaminya dari aspek komunikasi budaya dan bahasa umum yang dipakai pada periode itu. Bahasa umum yang dipakai pada abad naskah-nasakah itu dibuat adalah bahasa Melayu yang mulai beradaptasi dengan pengaruh Islam yang kuat sehingga keduanya sering sulit dipisahkan dari hasil karya yang dihasilkan pada masa itu.
Dalam konteks itu naskah yang mayoritas berbahasa Melayu dan Arab gundul serta bahasa Belanda di manapun berada sepanjang menyangkut Asia Tenggara dan hubungan antar kerajaan perlu diperlakukan sebagai milik bersama dan sebagai sumber ilmu pengetahuan. Artinya perawatan dan proses penyelamatan naskah harus juga dilakukan bersama karena selama ini sering tidak ada perawatan dan perhatian terhadap warisan budaya yang bernilai itu. Menjadi penyelamat dan perawat naskah tidak berarti harus mengaku bahwa ini milik kami tetapi lebih pada komitmen penyelematan warisan budaya Melayu yang dibangun oleh sebuah proses yang melibatkan banyak pihak dan intelektual di dunia Arab dan Melayu, termasuk di Buton. Dengan demikian polemik bisa dihilangkan yang berujung pada ketengangan sesama bangsa Asia Tenggara.
REFERENCES
Ahmadi, La Ode Muhammad La Ode Muhammad Amir, dan La Ode Muhammad Tanziylu Faizal Amir,  Sejarah Terjadinya Negeri Buton dan Negeri Muna Assajaru Huliqa Daarul Bathniy wa Daarul Munajat (Saduran Asli)” Khusus kalangan sendiri, tanpa tahun.
Alfian, Teuku Ibrahim, Kronika Pasai, Sebuah Tinjauan Sejarah, cetakan ke-2, Yogyakarta: Ceninnets, 2004
Bhurhanuddin, B. dkk, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Tenggara, Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Depdikbud, 1979
Darmawan, Yusran (ed.), Naskah Buton, Naskah Dunia (Baubau: Respect, 2009)
Hasaruddin, Jurnal Filologi Melayu, Jilid 14, 2006
————-, “Sipanjongan dalam Hikayat Negeri Butuni: Suatu Penjelasan Singkat”, dalam Yusran Darmawan (ed.), Naskah Buton, Naskah Dunia, Baubau: Respect, 2009
Matheson, Virginia. “Strategy of Survival, The Malay Line of Lingga Riau”, dalam Journal of Southeast Asian Studies, Vol XVII, No. 1, 1986, hlm. 18-23.
Nunuk Wijayanti, Pemikiman Kota Buton pada Abad XVII – XIX, Skripsi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1997,
Rabani, La Ode,  Kota-Kota Pantai di Sulawesi Tenggara 1906-1942, Thesis, Yogyakarta: Pascasarjana, 2002
Zahari, A.M. Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton) Jilid I, II, dan III, Jakarta: Depdikbud RI, 1977
Zuhdi, Susanto dkk. Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996
Zuhdi, Susanto, Labu Wana Labu Rope: Sejarah Butun Abad XVII-XVIII, Disertasi di Universitas Indonesia Jakarta, 1999

Keunikan Mata Uang Kesultanan Buton “KAMPUA”

Uang yang sangat unik,yang dinamakan Kampua dengan bahan kain tenun ini merupakan satu2nya yang pernah beredar di Indonesia.Menurut cerita rakyat Buton,Kampua pertamakali diperkenalkan oleh Bulawambona,yaitu Ratu kerajaan Buton yang kedua,yang memerintaha sekitar abad XIV. Setelah ratu meninggal,lalu diadakan suatu “pasar” sebagai tanda peringatan atas jasa-jasanya bagi kerajaan Buton. Pada pasar tersebut orang yang berjualan engambil tempat dengan mengelilingi makam Ratu Bulawambona. Setelah selesai berjualan,para pedagang memberikan suatu upetiyang ditaruh diatas makam tersebut,yang nantinya akan masuk ke kas kerajaan. Cara berjualan ini akhirnya menjadi suatu tradisi bagi masyarakat Buton,bahkan sampai dengan tahun 1940.
Pada jaman bertahtanya Sultan Buton yang keempat,yaitu Sultan Dayan Ihsanudin (La’ Elangi),sekitar tahun 1597-1631 perdagangan di kerajaan Buton mengalami masa kejaan. Para pedagang dari daerah2 lain,termasuk pedagang2 dari Cina dan Portugis datang dengan kapal2nya ke kerajaan Buton. Mengingat bahwa semua transaksi di wilayah kerajaan Buton harus menggunakan uang Kampua,maka sebelumnya para pedagang tersebut harusmenukarkan uang uang mereka dengan uang Kampua. Penukaran dilakukan kepada Money Changer yang banyak terdapat di pelabuhan,ataupun di lokasi2 perdagangan. Setelah selesai berdagang,mereka boleh menukarkan sisa uang Kampua yang dimilikinya dengan mata uang yang diinginkan. Namun tentunya ada juga pedagang2 yang tidak menukarkan,tetapi menyimpan Kampua itu sebagai kenang-kenangan”Uang aneh” dari Buton.
Dalam proses pembuatan dan pered aran uang Kampua inimandat sepenuhnya diserahkan kepada Mentri Besar atau yang disebut “Bonto Ogena”.Dialah yang akan melakukan pengawasan serta pencatatan atas setiap lembar kain Kampua,baik yang telah selesai ditenun maupun yang sudah dipotong-potong. Penghitungan mengenai situasi dan kondisi wilayah serta jumlah perkembangan penduduk yang ada,perlu diperhitungkan agar jumlah peredaran Kampua tetap dapat terkontrol dan tidak menimbulkan inflasi. Pengawasan oleh BontoOgena juga diperlukan agar tidak timbul pemalsuan2,sehingga hampir setiap tahunya motif dan corak Kapua akan selalu dirubah-rubah.
Setelah kain2-kain selesai ditenun,kemudian untuk dipotong2 untuk menjadi uangKampua. Pemotongan lembar kain menjadi Kampua itu juga ada prosedurnya yang juga ditentukan oleh Mentri Besar. Cara pemotonganya adalah dengan mengukur panjang dan lebar Kampua,dengan cara : Ukuran empat jari untuk lebarnya,dan sepanjang telapak tangan mulai dari tulang pergelangan tangan sampai ke ujung jari tangan,untuk panjangnya. Sedangkan tangan yang dipakai sebagai alat ukur adalah tangan sang Mentri Besar atau “Bonto Ogena” itu sendiri! Oleh karenanya ukuran lebar dan panjang Kampua yangdiproduksi tidak selalu sama,tergantung dari panjang pendeknya ukuran tangan Mentri Besar yang saat itu berkuasa. Jika nantinya yang menjadi Mentri Besar mempunyai tangan yang pendek,maka ukuran Kampua akan menjadi pendek pula. Sebaliknya jika “Bonto Ogena” mempunyai tangan yang lebih panjang,maka hasil jadi Kampua akan menjadi lebih panjang,sesuai dengan ukuran tanganya.
Pada awal pembuatanya,standard yang dipakai sebagai nilai tukar untuk satu “bida” (lembar) Kampua adalah sama dengan nilai satu butir telur ayam. Namun dalam perkembangan selanjutnya,standard ini diganti dengan nilai “Boka”,dimana satu Bida sama dengan 30 Boka. Ka adalah suatu standard nilai yang umum digunakan oleh masyarakat Buton,yang biasanya digunakan pada waktu upacara2 adat perkawinan,kematian,dan sejenisnya.
Namun setelah Belanda mulai memasuki wilayah Buton kira2 tahun 1851,fungsi Kampua sebagai alat tukar lambat laun mulai digantikan dengan uang2 buatan “Kompeni”. Sampai akhirnya nilai Kampua menjadi sangat tidak berarti,dimana pada waktu itu nilai tukar untuk 40 lembar Kampua sama dengan 10 sen duit tembaga,atau setiap 4 lembar Kampua hanya mempunyai nilai sebesar 1 sen saja!. Walaupun demikian Kampua tetap digunakan pada desa2 tertentu diKepulauan Buton sampai dengan tahun 1940.
Sumber :
Kintamoney Blogspot

Sultan Himayatuddin (Oputa Yi Koo), Sultan Buton, Hingga Wafat Tak Pernah Berhasil Ditangkap Belanda

Oleh : Bardin, S.Pd
Sejarah kesultanan Buton mencatat terjadinya perang besar melawan pemerintah Belanda di masa pemerintahan Sultan Himayatuddin (La Karambau / Oputa Yi Koo Sultan Buton ke-20 dan ke-23) sekitar tahun 1755.

Pada masa itu terjadi pertempuran antara pasukan kesultanan Buton dan pemerintah Belanda yang menimbulkan banyak korban dari kedua belah pihak.
Diantara korban yang gugur termasuk para petinggi kesultanan Buton diantaranya Sapati, Kapitalau, Bonto Ogena, raja Lawele dan Tondana serta mantan Raja Rakina (Susanto Zuhdi : Labu Rope Labu Wana, 1999 ; Ligtvoet, 1878-78-9)
Catatan sejarah ini mengundang para pemerhati dan peneliti sejarah diantaranya Prof DR Susanto Zuhdi, Drs Said. D serta budayawan Buton lain yang didukung para tokoh masyarakat untuk mengusulkan Sultan Himayatuddin (La Karambau / Oputa Yi Koo) sebagai sosok pahlawan Nasional.
Menurut Prof Susanto Zuhdi dalam seminar persiapan penyusunan Buku Biografi Sultan Himayatuddin (La Karambau / Oputa Yi Koo) di aula Rumah Makan Betoambari beberapa waktu lalu perjuangan Sultan Himayatuddin dalam menentang penjajahan Belanda di Buton telah memenuhi indicator untuk diajukan sebagai pahlawan nasional.
Meski selama ini sejarah Nasional setelah wacana NKRI terbentuk sejarah perjuangan tokoh pejuang Buton terkesan dikesampingkan karena munculnya versi ‘pengkhianat’ yang diberikan kepada Kesultanan Buton. Sebab, di masa lalu sejarah mencatat adanya kerjasama antara Buton dan pihak Belanda.
“Kondisi masa lalu sebelum Negara Kesatuan RI lahir yakni keberadaan kerajaan di Nusantara yang berdaulat termasuk satu diantaranya adalah Buton. Pada masa itu sebuah kerajaan berhak menentukan haluan politik luar negerinya termasuk menjalin kerjasama dengan semua pihak. Ini tidak bisa dijadikan rujukan jauh setelah wacana lahirnya Negara Kesatuan RI,” kata Prof Susanto Zuhdi.
Dalam draft buku Biografi Sultan Himayatuddin (La Karambau / Oputa Yi Koo), dimuat kronologis kegigihan Sultan Himayatuddin menentang pemerintahan Belanda di tanah Buton. Dijelaskan, kehadiran Belanda di Buton yang sebelum Sultan Himayatuddin naik tahta diterima dengan tangan terbuka.
Namun, kondisi itu mulai berubah setelah beberapa saat kemudian arogansi dari Belanda di Tanah Buton mulai tampak. Inilah yang ditentang oleh Sultan Himayatuddin dan siap melakukan perang terbuka melawan Belanda.
Dalam catatan sejarah Buton, Sultan Himayatuddin memiliki semangat yang sama dengan pahlawan nasional lainnya seperti pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Sultan Hasanuddin, Sultan Agung Pattimura yang gigih menentang kehadiran Belanda di tanah air hingga bangsa ini lepas dari kungkungan penjajah.

GAJAH MADA : "SUMPAH PALAPA"

Setelah wafatnya Raden Wijaya tahun 1309 dan digantikan oleh anaknya yang bernama Raden Jayanegara, Pemerintahan Kerajaan Majaphit sering dironrong oleh berbagai pemberontakan yang dilakukan oleh para dharmaputra atau pejabat istana, antara lain ; pemberontakan Nambi tahun 1316, pemberontakan Semi tahun 1318 dan pemberontakan Kuti tahun 1319. Ketika terjadi pemberontakan Kuti inilah muncul nama Gajah Mada. Ia adalah anggota pasukan pengawal Raja Jayanegara yang berhasil menyelamatkan raja dalam peristiwa Bedander. Ketika itu Raja Jayanegara mengungsi dan sebagai imbalannya Gajah Mada diangkat menjadi Patih di Kahuripan dan selanjutnya menjadi Patih di Daha.
Setelah Raja Jayanegara wafat digantikan oleh Tribhuwanatunggadewi dan tak lama terjadi pemberontakan Sedeng tahun 1331 dan berhasil dipadamkan oleh Gajah Mada. Sebagai balasan jasanya Gajah Mada diangkat menjadi Perdana Menteri (Mangkubumi).
Pada saat dilantik inilah Gajah Mada mengucapkan suatu sumpah terkenal yang disebut Sumpah Palapa. Dalam sumpah itu, Gajah Mada bertekad untuk tidak beristirahat sampai seluruh Nusantara dipersatukan dibawah panji Majapahit. Gajah Mada wafat tahun 1364 dan hingga saat ini belum jelas dimana disemayamkan. 
Para pakar sejarah hingga saat ini masih menyangsikan siapa sebenarnya Gajah Mada itu !! dan dari mana asal muasalnya !!, serta dimana letak makam aslinya. Hingga saat ini para ahli arkiologis belum pernah ada yang melakukan penelitian masalah lokasi asli kuburan Gajah Mada sehingga letak Makam Gajah Mada yang sebenarnya hingga saat ini belum ada persis yang mengetahuinya. Disamping itu juga kedatangannya dikerajaan Majapahit masih dianggap misterius karena semua lembaran sejarah Indonesia sampai saat ini belum ada pragraf yang menjelaskan masalah ini.
Muncul pertanyaan ; “Apa hubungan Kerajaan Majapahit dengan Buton” ?!. Jawabnya adalah berdasarkan fakta sejarah Buton, mengkisahkan bahwa sejak awal tahun 1236 sampai tahun 1300-san, pulau Buton telah dimasuki oleh orang-orang besar dan sakti mandraguna. Seperti misalnya Sipanjonga orang sakti berasal dari suku Melayu negeri Pasai dengan membawa pembantu utamanya bernama si Tamanajo. Berikut si Malui dan si Sajawankati dari Melayu Pariaman, Musarafatul Izzati al fakhriy (Wa Kaa Kaa) dari negeri Yastrib Madina yang merupakan keturunan Saiyida Ali Bin Abithalib membawa bersama Muhammad Ali Idrus, Dun Kung Sang Hiang sebagai panglima perang kaisar tiongkok (kubilaikan) dan Sang Ria Rana seorang pujangga Melayu. Selanjutnya muncul pula 3 (tiga) Orang kakak beradik, yakni anak Raden Wijaya sebagai Raja Majapahit masing-masing bernama Raden Sibatera, Raden Jatubun (Bau Besi) dan Lailan Mangrani atau putri Lasem dlsb.
Seluruh orang-orang besar dan sakti tersebut datang kepulau Buton dengan mereka mencarinya berdasarkan perintah bathin atau petunjuk yang diperoleh dari orang tua atau leluhurnya, datang bersama dengan masing-masing 40 kepala keluarga. Dalam sejarah Buton, Raja pertama Buton yakni Wa Kaa Kaa serta Raden Sibatera hanya meiliki anak yang bernama Bula Wambona, sedangkan Raden Jatubun dan putri Lasem tidak jelas disebutkan kawin dengan siapa dan punya anak bernama siapa. Sehingga muncul hipotesis dalam tulisan ini, bahwa premis Gajah Mada merupakan anak yang berasal dari salah seorang dari kedua anak Raden Wijaya tersebut yakni Raden Jatubun atau putri Lasem. Sebagai sintesis adalah bahwa Gajah Mada setelah dewasa diutus kembali ke kerajaan Majapahit untuk memperkuat pasukan perang disana. Mengapa di utus ke Majapahit !?, Karena penguasa kerajaan ini masih erat bertalian darah dengannya. Adapun masuknya ketiga kakak beradik anak Raja Majapahit tersebut ke pulau Buton adalah jauh hari sebelum wafat ayahandanya yakni Raden Wijaya tahun 1309. Sehingga secara analisis dapat dikatakan bahwa Gajah Mada lahir akhir abad XIII dan ketika muncul di Jawa tahun 1319 usianya sudah cukup dewasa.
Kedatangan ketiga anak Raden Wijaya itu ke pulau Buton bukan secara kebetulan tetapi merupakan petunjuk dan perintah bathin sang Raja Raden Wijaya yang diperoleh dari hasil pertapaannya, mengingat ketika itu kerajaan yang dipimpinnya mengalami banyak pemberontakan yang datangnya berasal dari orang-orang dalam Istana sendiri, dan diperintahkan anaknya untuk mencari pulau Buton ini. Adapun tujuannya ; pertama adalah untuk menyelamatkan ke tiga anaknya yakni Raden Sibatera, Raden Jatubun dan putri Lasem dari serangan pemberontak yang muncul dalam lingkungan pejabat istana. Dimana pulau Buton yang dipilih pada saat itu merupakan negeri yang relative (negeri keresian) aman dan kedua ialah untuk menyebarkan pemerintahannya dan pengembangan Bandar baru diwilayah lain disamping penyebaran keturunan. Adapun Raden Wijaya berpesan: “Berangkatlah anak-anakku, berangkatlah 20 generasi nanti akan kembali bersatu dengan Bangsa Leluhurmu yaitu dalam Kebangsaan Nusantara”
Di Desa Lasalimu terdapat Gunung Mada, konon diceritakan sebagai tempat mula kembalinya Gajah Mada setelah meninggalkan kerajaan Majapahit dengan membawa pasukan setianya sebanyak 40 orang. Sedangkan di kelurahan Majapahit di Batauga, konon dicerikakan sebagai tempat wafatnya Gajah Mada yang terdapat didalam satu liang bersama 40 orang pengikutnya. Mereka secara bersama-sama menguburkan/menimbunkan diri mendampingi mahpati Gajah Mada di dalam liang itu. Demikian pula di gunung Takimpo konon juga diberitakan sebagai tempat makamnya Gajah Mada beserta 40 orang prajurit setianya.  Dan hasil tutur foklour masyarakat Liya disebutkan bahwa Gajah Mada Moksa di salah satu Goa di pulau Oroho wilayah Kerajaan Liya.
Begitu setianya para prajuritnya tak mau berpisah jauh dengan sang maha pati Gajah Mada setelah wafat. Selama 40 hari dan 40 malam secara terus menerus gendang para perajurit mengiringi jasad sang mahpatih Gajah Mada di dalam liang tersebut dan setelah hari ke-41 bunyi genderang sekaligus hilang sunyi senyap ibarat ditelan bersama keheningan alam. Menandakan bahwa seluruh prajurit setia Gajah Mada yang ikut menguburkan diri bersama Gajah Mada diliang tersebut sudah wafat semua. Konon dikisahkan bahwa sampai dengan saat ini pada malam-malam tertentu masyarakat disekitar liang tersebut yang terdapat disalah satu Desa di Kelurahan Majapahit Kecamatan Batauga masih sering mendengar bunyi genderang para parajurit Gajah Mada itu sehingga daerah ini termasuk disakralkan oleh penduduk setempat.
Jika hipotesis ini benar, berarti tak salah lagi bahwa Gajah Mada adalah cucu Raden Wijaya. Gajah Mada selama berada di pulau Buton sejak kecil sampai menjelang dewasa dibawa bimbingan orang-orang sakti dan dia telah menimba ilmu bathin dan kanukragan yang amat dasyat. Setelah usia Gajah Mada dipandang cukup dewasa (usia  antara  15 s/d 20 tahunan), barulah sang ayah mengutusnya kembali ke pulau jawa untuk memperkuat kerajaan pamannya yakni Raden Jaya Negara sebagai Raja Majapahit. Setelah selesai tugasnya dalam memperjuangkan bersatunya Nusantara dibawah Kerajaan Majapahit yang berlangsung selama kurang lebih 43 tahun. maha patih Gajah Mada akhirnya ia kembali lagi ke pulau Buton pada tahun 1364 untuk menemui kembali kedua orang tuanya. (dalam sejarah tahun 1364 diberitakan Gajah Mada wafat).

Dalam catatan Mpu Prapanca (Negarakertagama) jelas ada disebut Butun (buton), LIYA- wangiwangi, Selayar,dan Bontain, sebagai wilayah Kerajaan Majapahit.
“…..muwah tanah i bantayan pramuka bantayan len luwuk tentang udamakatrayadhi nikanang sunusaspupul ikangsakasanusanusa makassar butun banggawi kuni gra-LIYA-o wangi (ng) salaya sumba solo muar,….”( Mattulada mengutip buku ‘Gajah Mada’ karangan Muhammad Yamin, terbitan Balai Pustaka Jakarta tahun 1945). 

Begitu besar makna sumpah Palapa bagi Gajah Mada sehingga diapun berjanji untuk tidak akan pernah tidur sebelum seluruh Nusantara dapat dipersatukan oleh kerajaan Majapahit----adalah merupakan suatu perjuangan yang amat berharga pada zamannya. “Apakah semangat juang Gajah Mada ini masih dimiliki oleh para pemimpin bangsa kita saat ini, dalam memperjuangkan tetap utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia” ??. Masih dalam tanda Tanya besar, sebab gaya kepemimpinan para pejabat kita saat ini ialah lebih cendrung kebaratan, konsepsi pola pikir dan tingkah laku kepemimpinan lebih individualistik, postulat merupakan produk kapitalistis, liberalistis, komunistis. Bukannya gaya kepemimpinan berdasarkan doktrin sesepuh para leluhur yang amat tersohor pada zamannya yang bersahaja, adil dan sederhana itu. Kata orang kampung ; “Amat sayanglah para pemimpin kita saat ini mereka tinggalkan begitu saja kebudayaan nenek moyang kita dahulu, tanpa mau mereka dengan sungguh - sungguh untuk mempelajarinya. Padahal disana para nenek moyang kita amat kaya akan sifat, sikap, gaya dan ilmu kepemimpinan”.
Semangat juang maha pati Gajah Mada yang tertuang dalam Doktrin Perjuangan Gajah Mada, meliputi 15 (lima belas) Sumpah Palapa sebagai esensi dasar soko guru dalam melangkah memperjuangkan kesatuan seluruh nusantara dalam kekuasaan Majapahit. Adapun isi Sumpah Palapa yang dikutif dalam naskah Bung Karno yang ditanda tangani 1 Maret 1955 yang tertera dalam dokumen Doktrin Perjuangan Penyelesaian Amanah Rakyat, sebagai berikut :
1.VIJ N A
Vijna artinya sifat Bijaksana yang khidmat. Sikap ini mencerminkan rasa tabah dalam keadaan genting, namun tidak lupa daratan dalam keadaan senang. Sikap ini juga mendidik kita untuk rendah hati, tidak pongah dan takabur atau sombong. Kita tidak perlu putus asa ketika menderita, tetapi tidak perlu lupa diri dalam keadaan senang. Didalam diri yang Vijna, terdapat rasa bersahaja yang seimbang.
2.MANTRIWIRYA
Mantriwirya,artinya sifat ini mendidik kita untuk menjadi pembela buat yang tertindas, menolong bagi yang teraniaya. Kita harus berani karena benar dan takut karena salah. Sikap ini mendidik kita berani karena ada sesuatu yang pelu dibela, bukan sesuatu yang perlu kita tundukkan dan kita kalahkan. Sikap ini datang dari kesadaran fikir, rasa dan raga yang menyatu serta berkebenaran yang sejati. Bukan karena perasaan diri kuat dan perkasa. Kekuatan hanya bisa menundukkan dan mengalahkan tapi tak pernah berhasil menciptakan kebenaran dan keadilan.
3.WICAKSANENG NAJA
Wicaksaneng Naja,artinya sikap ini mendidik kita berjiwa patriotik dan demokratis. Terhadap kawan dan lawan kita harus bersikap terbuka dan jantan. Sikap ini mendidik kita jangan suka menari di atas bangkai dan kuburan lawan. Musuh yang jujur itu kadang lebih baik dari kawan yang munafik. Dalam diri manusia selalu ada hal yang baik dan buruk. Tehadap keadaan ini kita harus bersikap bijaksana dan terbuka.
4.MATANGGWAN
Matanggwan,artinya sikap ini bertalian dengan kepercayaan atau rasa kepercayaan. Kalau kita diberi kepercayaan atau amanah, janganlah kita bersikap ingkar atau cidera. Sebab kepercayaan adalah tanggung jawab yang harus kita penuhi. Kita dipercaya bukan lantaran kita kuat dan perkasa, tapi lantaran kita mampu bertangungjawab terhadap kepercayaan yang kita terima sebagai amanah dari orang lain.
5.SATYA BHAKTI APRABHOE
Satya Bhakti Aprabhoe artinya, adalah sikap yang berhubungan dengan loyalitas kita pada atasan, pimpinan dan kenegaraan. Satya Bhakti memang soal loyalitas, tetapi loyalitas musti lahir dari rasa kesadaran dan bukan mitos atau dogma pribadi. Satya bhakti adalah kode etik pengabdian. Berarti itu bukan kultus pemujaan suatu terhadap seseorang yang kebetulan berkuasa.
6.SARJANA PASAMO
Sarjana Pasamo artinya, ialah sikap perwira atau sikap kesatria yang paripurna. Kesatria yang bersikap paripurna (sarjana pasamo) berhati tabah terhadap goncangan apapun. Sementara dia tetap taat pada pimpinan yang baik. Sikap ini mendidik kita supaya tetap berwajah manis dan ramah, sabar dan teguh pada pendirian. Kita kadang harus ikhlas kehilangan sesuatu dan tidak merasa miskin karena memberikan sesuatu. Juga tidak merasa sudah puas karena mencapai atau memiliki sesuatu.
7.WIGNIWAS
Wigniwas artinya, adalah sikap yang membicarakan tentang kewibawaan. Sebenarnya kewibawaan itu terletak pada diri pemimpin yang pandai dan mahir. Dalam hal ini dituntut untuk mahir dalam ilmu historika dan logika. Untuk itu memerlukan pula beberapa ilmu diantaranya ; Kosmology, Konmogonie, Polemos, Egosentros, Logos dan Eros. Disamping itu juga pandai pidato dan mengerti ilmu jiwa lingkungan. Sikap ini menunjukan pada adanya sikap yang tegus dalam prinsip, berani dalam mengambil prakarsa dan tuntas jika suatu langkah sudah diambil.
8.DIROTSABA
Dirotsaba artinya, adalah sikap intensif dalam segala hal. Tekun dalam pada sesuatu yang diyakininya akan berhasil baik. Berkesungguhan dalam berfikir dan berbuat. Juga dalam hal ini tanpa harus kehilangan rasa yang manusiawi. Apapun yang direncanakan dan dikerjakan , cara mengerjakannya itu tetap sungguh-sungguh dan bukan iseng. Biarpun dalam beberapa hal mempunyai kelemahan dan kekurangan, Namun seorang kesatria tidak akan terpengaruh. Dan keadaan ini tidak akan membikin keperibadian dan kebesaran pribadi kesatria menjadi sirna. Jadi sifat ini mendidik kepada kita untuk tetap tegar dan mempengaruhi suasana ataupun lingkungan tanpa terpengaruh sedikitpun.
9.TANLALANO
Tanlalano artinya, ialah sikap manusia yang polos dalam duka dan suka, manusia harus tetap berwajah cerah. Manusia tidak perlu lari dari kenyataan ataupun lari dari dirinya sendiri, apapun yang menimpa dirinya. Sikap ini juga mendidik kita untuk tetap waspada tetapi waspada dan hati-hati yang tanpa dilandasi rasa benci, dengki, curiga dan prasangka. Mahpatih Gajah Mada mengatakan maksud dari pada diri yang Tanlalano adalah manusia itu harus selalu Setiti, Ngastiti, Surti dan Ati-ati. Tetapi tanpa dilandasi dengan hati yang ; Iri, Dengki, Srei, Dahwen, Panasten dan Patiopen.
10.TANSATRISNA
Tansatrisna artinya, sikap ini menunjukan pada sikap kita untuk tidak memihak sejak kita tahu bahwa jalan yang sebenar benarnya telah kita miliki. Mahpatih Gajah Mada mengatakan bahwa kebenaran itu ada 5 (lima) macam, antara lain :
• Kebenaran yang sejati
• Kebenaran yang dapat diterima oleh seluruh bangsa
• Kebenaran yang hanya dapat diterima oleh satu golongan saja
• Kebenaran yang palsu
• Kebenaran yang sesat.
Sikap Tansatrisna ini mendidik kita untuk tidak pilih kasih dan pandang bulu. Tidak selalu berselera untuk pamrih dan tidak punya pertimbangan buat kepentingan diri sendiri. Berarti pula kita tidak punya selera untuk pamrih.
11.DWIGNYATCIPTA
Dwignyatcipta Artinya, sikap ini mendidik kita sopan santun atau suatu watak yang sangat berbudaya. Dalam berhubungan dengan manusia sesama akan tampil sikap kita yang tahu akan tata krama dan berbudi luhur. Dalam sikap ini sangat menonjol sekali nilai demokratis. Jiwa Gajah Mada yang agung. Sikap ini mengajarkan kepada kita supaya siap dan sedia serta rela mendengar pendapat orang lain kendatipun pendapat itu tidak kita setujui.
12.SIH SAMASTHA BHOEA ERA
Sih Samastha Bhoea Era Artinya, sikap ini membicarakan mengenai nilai-nilai yang patriotik. Seorang pahlawan tidak hanya cukup asal berani saja secara fisik, mental dan ideologi saja. Seorang pahlawan mesti harus mempunyai hati dan akhlak pahlawan, berbudi dan berjiwa pahlawan. Disamping itu harus dapat membentuk generasi muda pahlawan. Sikap tersebut sebagai ciri pahlawan dan untuk membesarkan pahlawan. Tetapi membesarkan pahlawan tidak sama dan bukan mendewakan pahlawan dan memuja buta pahlawan itu.
13.GYNONG PRATITDYA
Gynong Prattitdya Artinya, sikap ini berbicara tentang watak moral yang tinggi. Manusia yang baik harus selalu mengerjakan yang baik dan harus dapat membuang jauh segala tingkah laku serta perbuatan yang buruk. Menurut keterangan Mahpatih Gajah Mada, baik itu adalah tingkat terendah, sedangkan urutannya ialah Baik, Bijaksana dan Bajiksana. Dalam hal ini juga berbicara tentang jiwa dan watak keterbukaan. Sebab cuma orang yang berwatak terbuka maka dia berani membuang segala yang buruk dalam dirinya.
14.SOEMANTRI
Soemantri Artinya, sikap ini mendidik kita supaya memperlihatkan sikap yang selalu sadar, setai, teguh bulat dan utuh. Pribadi yang sumantri adalah memperlihatkan kepaduan antara ; Loyalitas, Dedikasi, Kreativitas, Dinamika dan Integritas diri manusia. Manusia yang Soemantri adalah manusia yang selalu ketiga kesadaran yang menyatu. Kesadaran itu ialah Kesadaran pikir, Kesadaran Rasa dan kesaaran raga. Disamping itu juga mengetahui ketiga kehendak, yakni kehendak yang disadari, Kehendak yang didorong oleh nafsu dan Kehendak yang supra.
15.HANYAKEN MOESOEH
Hanyaken Moesoeh Artinya, sikap ini kita dididik untuk dapat mengetahui dengan jelas dan mengendalikan dengan jelas mengenai musuh itu. Yang sebenarnya musuh itu mempunyai gambaran dua dimensi, yakni musuh yang fisik/wadag disebut musuh luar yang kelihatan/dapat dilihat. Musuh ini mudah diketahui dan dapat dikendalikan. Sehingga dengan demikian sehingga musuh yang diluar ini dapat kita jadikan sahabat dapat juga kita jadikan syarat kesuksesan kita.
Namun dalam penguasaan musuh ini kita harus ingat bahwa kita menang tapi kalau bisa jangan ada yang merasa dikalahkan. Selanjutnya terdapat musuh yang tidak kelihatan yakni musuh yang bersarang didalam diri kita sendiri. Musuh inilah yang agak susah kita kendalikan dan apalagi kita musnahkan. Rumah dari musuh yang tersamar ini adalah keinginan (krenteg, karep serta tumindak ). Kesemuanya ini memerlukan emosi, yang mana didalam diri kita terdapat dua jenisnya, ialah 6 akar kejahatan emosi dan 6 akar budi luhur emosi.

Ke lima belas butir Sumpah Palapa oleh Gajah Mada itu senantiasa diamalkan dan dijadikan pedoman dalam setiap kepemimpinan Raja-Raja Liya, Raja-Raja Wolio dan para Sultan di negeri Buton, sehingga ketika mereka memimpin amat  dihormati oleh masyarakatnya dan sangat disegani oleh lawan-lawannya. *

sumber : http://bumibuton.blogspot.com/2011/08/gajah-mada-sumpah-palapa.html