Minggu, 10 Juni 2012

RIWAYAT HIDUP SULTAN HIMAYATUDDIN MUHAMMAD SAIDI(Oputa Yikoo”)

Nama                           :  Himayatuddin Muhammad Saidi
Tempat/Tgl. Lahir       :  Wolio Buton, tahun 1701
Agama                         :  Islam
Istri                              :  Gelar “Baluna Oputa Yikoo
Anak                           :  1. La Ode Harikiama
2. La Ode Pepago
3. Wa Ode Wakato

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN
1707-1714                  Memasuki pendidikan keluarga yang dikenal dengan Pendidikan Informal, seperti pendidikan ahlak dan budi pekerti yang berlangsung di lingkungan keraton. Selain pendidikan ahlak diajarkan pula pengenalan membaca Alqur’an dalam Pendidikan Halaka. Pada fase ini diperkenalkan pula Pendidikan penegenalan  tata krama dalam Istana sebagai “Belo Bamba” tugas pengkaderan bagi anak-anak kaomu dalam Keraton
1714-1721                  Memasuki usia dewasa mengikuti pendidikan bela diri, mendalami kebhatinan dan memperdalam kandungan Al Qur’an, hingga memasuki Pendidikan Keraton dalam lingkungan Istana dengan tugas-tugas pengkaderan dalam bidang politik dalam lingkungan Keraton.
PENGALAMAN KERJA
1721-1728                  Mengikuti proses pendidikan bagi anak-anak kaomu yang terpilih. Memperdalam pemahaman kandungan Al Qur’an, ilmu pemerintahan dan kepemimpinan, hingga pada tingkat Kesufian. Memasuki dunia birokrasi dalam lingkungan Istana sebagai tugas awal pengkaderan bagi anak-anak kaomu mengabdi dalam Istana Kesultanan  Keraton Buton
1728-1738                  Diangkat menjadi Lakina Kambowa, sebagai jabatan Kepala wilayah pemerintahan bawahan
1738-1750                  Diangkat menjadi Kapita Lau Matana eo (Panglima Pertahanan Keamanan Wilayah Timur), adalah sebuah jabatan yang berkedudukan di pusat pemerintahan Istana Keraton Kesultanan.
1750-1752                  Terpilih menjadi Sultan Buton ke-20, oleh Dewan Sara Siolimbona menggantikan mertuanya Sultan La Ngakariyriy yang meninggal dunia tahun 1749.
1752                               Memerintahkan Sabandara untuk menangih Bea cukai pelabuhan terhadap Kapal Pesiar Belanda Rust en Werk yang berlabuh di Bau-Bau. Perintah Sultan melalui Kapita Lau dan Sabandara ditolak oleh Kapten Kapal Rust en Werk menyebabkan terjadinya ketegangan kedua belah pihak. Dalam tahun yang sama Frans Frous seorang pelarian politik kebangsaan Belanda dari Kantor Sekretaris Pemerintah Belanda di Bulukumba mencari perlindungan di Buton. Frans Frous bekerjasama dengan Sultan  memerintahkan untuk menenggelamkan Kapal Rust en Werk  menangkap dan membunuh anak buah kapal beserta penumpangnya diserahkan kepada sultan.
Masih dalam tahun ini Sultan Himayatuddin dimakzulkan dari jabatan Sultan Buton oleh Dewan Siolimbona. Pemecatan ini diterima dengan baik oleh sultan Himayatuddin dengan maksud agar tidak terjadi perang terbuka antara Buton dengan Belanda.
1752-1755                  Membuat pertemuan rahasia dengan Sultan Hamim. Himayatuddin mengambil alih Komando Strategi Pertahanan dan Perlawanan terhadap Belanda. Ganti rugi akibat pengrusakan Kapal Rust en Werk yang harus dibayar dengan 100 orang budak untuk dipekerjakan tidak dipenuhi pihak kesultanan. Bahkan ganti rugi itu hanya mengirimkan anak-anak dan orang tua yang sudah tidak bisa bekerja, sebagai tanda perlawanan pihak Buton. Menurut pihak Belanda ini adalah sebuah pembangkangan yang dilakukan oleh pihak Sultan Buton.
24 Pebruari 1755        Perang Buton “Kaheruna Walanda” meletus, pendaratan Pasukan Belanda dipimpin Komandan Rijweber  pada dinihari pukul 00 pasukan Belanda bergerak dari pantai memanjat tebing-tebing terjal menuju titik sasaran dipintu gerbang “Lawana Labunta” pada subuh hari tepat para penjaga membuka pintu gerbang pasukan Belanda menyerbu menembakkan senjata mesin membunuh para pengawal penjaga pintu.
Perang semakin sengit dari dalam Keraton pasukan Kesultanan memberikan perlawanan, beberapa pejabat kesultanan gugur antara lain Kapita Lau La Ode Sungkuabuso, Sapati, Bonto Ogena.  Pasukan Belanda terus bergerak maju menuju Istana Sultan Hamim pengawal sultan melakukan perlawanan yang tidak seimbang. Himayatuddin mengambil alih pimpinan perlawanan setelah diketahui Kapita Lau telah gugur. Segera mengomandokan perlawanan dengan mengalihkan sasaran kepada pusat pertahanan di Istananya dengan maksud untuk memberi kesempatan Sultan Hamim menyingkir keluar Benteng Keraton. Istana Himayatuddin dikepung pasukan Belanda, beliau memberikan perlawanan dan beberapa orang pasukan Belanda dibunuhnya dengan keris dan akhirnya Himayatuddin lolos dari kepungan pasukan Belanda melalui pintu belakang Benteng Keraton menuju Wasinabui.
1755-1760                  Longmarc meninggalkan Benteng Keraton Buton menuju Benteng Pertahanan Gunung Siontapina. Setelah tiba disana mengumumkan Perang Geriliya terhadap Belanda. Menyiapkan srtategi perlawanan dengan membentuk pusat-pusat pengintaian dan pertahanan
1760-1763                  Dewan Siolimbona kembali mengangkat beliau menjadi Sultan Buton yang ke-23. Rakyat mendukung keputusan Dewan Siolimbona, karena kondisi kesultanan ketika itu tidak menentu. Tekanan-tekanan Belanda semakin menyulitkan pemerintah dan rakyat.
1763-1770                  Kembali ke Gunung Siontapina sebagai seorang sufi dan guru agama. Diakhir masa tuanya tetap memberikan semangat perlawanan terhadap Belanda. Ia selalu berkeliling di wilayah kadie-kadie di pantai Timur Buton untuk bersatu memberikan perlawanan dalam model perlawanan rakyat semesta. Melakukan mobilisasi umum dan memerintahkan seluruh rakyat untuk menyiapkan logistik perang. “Kampiri” tempat penyimpanan bahan makanan dari hasil perkebunan dan perlengkapan masak yang disiapkan oleh rakyat dipinggir-pinggir hutan untuk persiapan perang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar