Kamis, 07 Juni 2012

HUBUNGAN ANTAR BANGSA DALAM SEJARAH ISLAM NUSANTARA

Sebelum Walisongo menyebarkan islam di Tanah Jawa, pada tahun 99 H, Sri Maharaja Serinawarman (661 – 750 M) dari Kerajaan Sriwijaya telahpun masuk islam. Bahkan pada abad pertama hijriah, Ratu Sima penguasa Kerajaan Kalingga di Jepara Timur juga telah menjadi muslim.
 
Menurut beberapa catatan sejarah, khalifah legendaries dari Bani Umayah Umar Abdul Aziz sering berkirim surat ke dua kerajaan tadi. Surat2 tersebut, bahkan hingga kini masih disimpan di museum Granada, Spanyol Selatan.
Lalu, bagaimanakah sebenarnya hubungan diplomatik antara penguasa islam saat itu dengan penguasa domestik di Nusantara. Dan, bagaimana pula keterkaitan nusantara dengan teritorial lain di penjuru dunia dalam perihal perkembangan Islam saat itu. Apalagi, ketika masih ada sistem kholifah islam, seolah tak ada batas territorial yang memisahkan antarmuslim di seluruh planet bumi. kita ambil saja, latar belakang para wali anggota walisongo sebagai bahan pentadbiran.

Pertama; garis keturunan Sunan Ampel, sesepuh para wali di Jawa. Ayahnya adalah orang Bukhara di Azerbaijan. Sedangkan ibunya berasal dari lingkungan keluarga raja di Champa, sekarang Vietnam.

Kedua; sejarah pendidikan Sunan Kudus, salah seorang sunan yang juga seorang Panglima Perang Kerajaan Demak semasa Raden Fatah memerintah dan berlanjut menjadi Penasihat Militer semasa Kerajaan Pajang. Rupanya Sunan Kudus pernah berguru kepada seorang Ulama Tionghoa yang kemudian menetap di Jawa, Teh Ling Sing atau dikenal sebagai Kiay Telingsing yang tinggal diantara daerah aliran sungai Tanggulanging dan Sungai Juwana. Kiay ini merupakan salah satu anggota ekspedisi Laksamana Cheng Hoo yang diutus petinggi Islam negri Cina untuk berdakwah islam ke Nusantara. Bahkan belakangan diketahui Kiay ini pula yang mengembangkan seni ukir di pesisir Jawa Tengah yang kemudian sekarang berkembang menjadi seni ukir Jepara.

Ketiga; Sunan Gunung Jati anak seorang Pangeran sebuah Kerajaan di Mesir. Ibunya Rara Santang adalah Putri Prabu Siliwangi yang kemudian masuk islam. Bersama kakaknya, Pangeran Walangsungsang yang juga masuk islam berguru kepada Syaikh Dzatul Kahfi dari Cirebon. Ketika mereka berdua memenuhi amanat Sang Syaikh untuk berhaji ke Baitullah, disana bertemu dengan seorang Pangeran yang kemudian kelak menjadi suami Rara Santang. Ketika ayahnya diangkat menjadi raja di Mesir dan kemudian meninggal dunia, menurut atur cara kerajaan, seharusnya Syarif Hidayatullah naik tahta menjadi raja di Mesir. Namun jabatan itu diserahkannya kepada Syarif Nurullah, adik kandungnya. Kemudian, selain menikah dengan seorang puteri adipati dari Banten, Syarif Hidayatullah juga menikah dengan putri Kaisar Kedinastian Ming; Putri Ong Thien, namanya. Hal itu, kemudian menjadikan hubungan diplomatik antara Kerajaan Islam Cirebon dan Kekaisaran Cina semakin erat.

Selain itu, seorang panglima perang Mongolia beragama islam, utusan Khubilai Khan juga telah tercatat dalam Sejarah Islam Nusantara. Menurut buku Al Sajaru Huliqa Daar Al Buthni wa Daar al Munajat karangan Syaikh Abdurrahman Hada dari Gresik, Panglima itu bernama Khun Khan Ching. Ketika pasukan Mongol dikhianati Raden Wijaya, mereka lari ke Johor di Semenanjung Malaysia tempat islam sudah berdaulat. Ia malu kembali ke Tiongkok karena pasukannya mengalami kekalahan. Selain itu, Khubilai Khan pimpinannya digantikan oleh Hulagu Khan yang anti islam. Bahkan Hulagu khan lah yang menyerbu dan menduduki Baghdad, ibukota Kekhalifahan Abbasiyah.

Di Johor, Khun Khan Ching bersahabat dengan Muhammad Ali Idrus, putra Raja Aden yang juga menantu Sultan Ahmad I dari Kerajaan Pasai.
Suatu ketika Khun Khan Ching memutuskan untuk berlayar ke tenggara bersama Muhammad Ali Idrus; sahabatnya. Sebab kepergian mereka karena rasa solidaritas terhadap sahabatnya yang lain bernama Qurais Fukhry atau Wa Kaa Kaa, juga seorang muslim keturunan Tionghoa sepupu Muhammad Ali. Jadi walaupun Muhammad Ali adalah seorang Arab namun memiliki seorang sepupu cina, Mereka bertiga kemudian menetap di Buton. Bahkan, Khun Khan Ching, mantan panglima Mongolia itu akhirnya, setelah melalui perjalanan panjang menjadi Raja Tobe-tobe di Buton.

Jelaslah bahwa pada masa penyebaran islam di Indonesia berlangsung, ternyata ikatan darah dan hubungan diplomatik dengan muslim dari bangsa lain telahpun berlangsung. Ini menandakan bahwa Nusantara pernah menjadi mata rantai dari jaringan kekhalifan islam di dunia. Juga banyak raja2 muslim nusantara merupakan keturunan bangsa2 lain di dunia seperti Arab dan China, bahkan Mongolia.

Jadi tidak ada alasan mendikotomikan antarsuku atau ras di Indonesia; apakah itu keturunan Cina atau Arab. Islam adalah rahmatan lil 'alamin, bagi semua bangsa di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar