Kamis, 07 Juni 2012

KEMATIAN dan Penyelenggaraannya Dalam Balutan BUDAYA BUTON

Kematian adalah Hal yang pasti dan terjadinya tak seorangpun dapat memastikannya. Sesudah kematian terjadi, terus dibersihkan duburnya (dicebok) kemudian dibaringkan di tempat tidur dengan kepala kesebelah Timur. Lalu ditutup tubuhnya sampai leher dengan tiga lapis sarung, kalau laki-laki dipakaikan juga sonkok.

Kalau orang mampu mengundang seluruh Pegawai Masjid Agung Keraton istilahnya SATOMBUA yaitu Lakina Agama, Imam, Khatib, Moji atau Bilal dan Tungguna Ganda untuk menyelenggarakan urusan pemakaman atau penguburan. Akan tetapi boleh juga kurang dari itu disesuaikan dengan kesanggupan, misalnya setengah (SAMONTANGA) atau seperempat. Kalau seperempat juga tidak disanggupi, maka cukup diurus dan diselenggarakan oleh keluarga saja dengan urut-urutan pelaksanaan sebagai berikut :

Setelah siap semua kelengkapannya, mayat dimandikan dengan syarat-syarat sesuai ketentuan Agama. Mulai dari waktu dimandikan ini letak mayat diubah menjadi kepala kesebalah Utara, selesai dimandikan lalu dikafani dengan kain putih. Kain Putih (kafan) ini diatur demikian rupa sehingga bagi mayat laki-laki yang melekat dibadan merupakan jubah dan serban, sedangkan perempuan salibumbu (kudung). Disertai tiga lapis merupakan pembungkusnya, dan diikat tiga yakni dibagian kepala, tengah dan kaki. Kelengkapan lainnya adalah timbasa, istinja, didi, tirisangiana potutuua dan bawona kurungan, apa yang tersebut diatas adalah kain putih masing-masing panjang kurang lebih 2 meter. Selain kelengkapan berupa kain putih tersebut, juga yang disebut KASIWUNA UWE berupa toples atau sekurang-kurangnya gelas sebanyak 2 buah.
Sesudah mayat dikafani lalu ditutup dengan 3 lembar sarung dan di atas sarung direntangkan kain putih yang terlipat dari kepala hingga ujung kaki, itulah yang disebut BAWONA KURUNGA ini sebentar akan menjadi penutup lubang kubur ketika mayat diturunkan ke liang lahad. Sebelum dibawa ke tempat pemakaman terlebih dahulu sesudah dikafani lalu disembahyangkan, letak mayat kepala ke Utara. Selesai disembahyangkan, diangkat dan diletakan di atas tandu atau dalam bahasa Wolio disebut KAPATEA dan selanjutnya di antar ke kubur. 
iba di kubur lalu diturunkan ke liang lahad di hadapkan ke Qiblat. Kalau laki-laki diazankan sedangkan perempuan hanya di qamatkan, sesudahnya barulah ditimbuni. Kalau orang dewasa dibacakan Talqin kemudian Yasin. Bila belum dewasa (anak-anak) hanya dibacakan Yasin dan selesai itu kembali ke rumah masing-masing. Sesudah penguburan, kalau keadaan meluaskan maka pihak yang berduka mengadakan undangan terutama kepada para famili dekat untuk bertahlil. Demikian pula pengajian setiap malam berturut-turut sejak dari malam pertama sampai dengan malam ke tujuh.

Selama tujuh hari itu pegawai Masjid yang diundang pada waktu kematian, setiap hari pergi ziarah ke kuburan untuk bertahlil, tetapi tidak seluruhnya hanya satu atau dua orang saja. Bagi mereka yang mempunyai kesanggupan maka pada setiap malam yang bertahlil itu dijamu makan, kalau tidak mampu cukup dengan air panas saja. Tetapi pada malam ke 3 dan malam ke 7 harinya, Pegawai Masjid yang diundang pada hari kematian hadir pula pada pagi harinya untuk bertahlil, acara inilah yang disebut KALAPASIA. Pada acara ini tidak pula disuguhi makan hanya diberi Pasali dan minum air panas.

Lepas hari ke 7 sesudah Kalapasia atau sehari sesudah Kalapasia, pihak yang berduka serta keluarga dekat pergi ke sungai untuk mandi, namanya PEBAHOA dengan syarat-syaratnya tertentu. Sesudah acara mandi lalu semuanya kembali ke rumah duka untuk makan bersama.

Antara ke 7 harinya sampai dengan ke 40 harinya, pada tiap malam Senin dan Jum’at, di rumah duka selalu diadakan Tahlilan. Kalau ada kemampuan maka pada hari ke 40, 100, dan 120 diadakan Kenduri sesudah bertahlil, dan besok paginya dilaksanakan pula acara KALAPASIA. Untuk Kalapasia pada hari ke 40, 100, dan 120 kalau mampu, maka mengundang lagi Pegawai Masjid sebagaimana pada hari ke 3 dan ke 7. Dan kalau tidak, acara ini dilaksanakan saja oleh keluarga.

Perlu dijelaskan bahwa pada malam ke 7 sesudah bertahlil, pihak yang berduka menyerahkan sejumlah uang, namanya ANTONA RAATIBU dan ANTONA NGAJI yang merupakan sedekah. Jumlahnya tidak terikat hanya sesuai keadaan, dan uang tersebut dibagi-bagi oleh yang bertahlil atau mengaji setiap malam. Namun hanya sekali saja bertahlil atau mengaji, sudah berhak menerima uang tersebut. Oleh sebab itu namun seorang tidak hadir pada malam ke 7 dan sebelumnya sudah pernah datang, baginnya tetap diberikan.

Setiap pagi sampai 7 hari kuburan selalu disiram dengan air yang dicampur dengan bunga atau wangi-wangian, namanya KABUBUSI. Pada waktu kematian biasanya yang hadir memberikan sumbangan berupa uang dan lain-lain menurut kerelaannya, inilah yang disebut DUPA. Kalau sumbangan diberikan sesudah mayat dikuburkan, maka itu disebut KAHAMBA.

Berikut ini dijelaskan mengenai jenis-jenis biaya yang perlu dikeluarkan pada waktu kematian sebagai berikut : (1) Antona Talaqie. (2) Antona Bosu. (3) Kaangkuna Timbasa. Antona Talaqie dan Antona Bosu sama jumlahnya, sedangkan Kaankuna Timbasa 50% dari Antona Talaqie atau Antona Bosu. Antona Talaqie diterima oleh yang baca Talqin, sedangkan Antona Bosu dan Kaangkuna Timbaasa dibagi oleh para Moji atau Bilal dan 1 (satu) bagian untuk Khatib. (4) Pasali. (5) Antona Ratibu dan Antona Ngaji yang dikeluarkan atau diserahkan pada malam ke 7

Kalau penyelenggaraan pemakaman dilakukan oleh Pegawai Masjid Agung Keraton : (1) Imam berhak menerima : Kiwalu (tikar), Bawona Kurunga (Sepotong Kain Putih), Sekaa (Sepotong Kain Putih) (2) Moji atau Bilal berhak menerima: Timbasa, Istingga, Didi, Tirisangianauwe, Potutuua. Masing-masing sepotong kain putih. (Kasiwuna uwe (toples atau gelas 2 buah) khusus diterima oleh yang memandikan).

Mengenai jumlah dari tiap pengeluaran tersebut yang berupa uang disesuaikan dengan kemampuan yang bersangkutan. Demikianlah selayang pandang cara pelaksanaan dan penyelenggaraan kematian di Buton.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar